Status Hukum Internasional di dalam Wilayah Hukum Republik Indonesia

Rd. Adityawarman

Dalam wilayah hukum Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 tidak mengatur secara tegas pemberlakuan kaedah hukum internasional di wilayah nasional. Pasal yang menyangkut tentang hukum internasional hanyalah pasal 11 dan 13, dan kedua pasal tersebut sangat ringkas. Kemudian sebagai penjabaran dari UUD 1945 dikeluarkan Surat Presiden Republik Indonesia (SPRI) No.2826/HK/1960 pada tanggal 22 Agustus 1960 yang mengatur tentang “Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain”. Tetapi dalam tatanan prakteknya Surat Presiden tersebut hanya mengatur prosedur mengadakan perjanjian internasional dan belum sampai pada prosedur pemberlakuan kaedah hukum internasional yang dibuat ke dalam wilayah hukum Indonesia.
Dengan keterbatasan sumber materil untuk mengatur kaedah hokum internasional dalam wilayah RI, kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 24 Tahun 2000 tentang “Perjanjian Internasional”. Tetapi dalam undang-undang tersebut juga tidak terdapat bagian khusus yang mengatur status kaedah hukum internasional di wilayah RI, sehingga pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Indonesia mem-posisikan hukum internasional di dalam wilayah hukum nasional. Setelah kita bahas di atas tentang teori dan praktek pelaksaan kaedah hukum internasional di dalam wilayah nasional, lalu dari teori dan praktek tersebut di manakah Indonesia mengambil peran, karena tidak menutup kemungkinan terjadi pertentangan antara kaedah hukum internasional dengan kaedah hukum nasional. Teori manakah yang dipakai, dualisme kah atau monisme, dengan primat hukum nasional kah atau internasional, kemudian pada tatanan praktisnya prosedur manakah yang digunakan, inkorporasi, transformasi atau delegasi?
Pada kenyataanya hukum internasional tidak mewajibkan Negara untuk memilih antara teori monisme ataukah dualisme, karena preferensi tersebut lebih ditentukan oleh kepentingan politik setiap negara. Negara yang nasionalismenya tinggi akan menempatkan preferensi hukum nasional dan yang simpatik pada internasionalisme akan mengambil preferensi internasional. Dalam prakteknya, Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional mempunyai dasar kaedah yang sama, dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional. Sikap tersebut bisa saja diambil lantaran landasan yurdiksi yang tidak kuat sehingga opini internasional menggiring kepada preferensi hukum internasional yang bisa saja merugikan kepentingan nasional, penulis memandang seharusnya teori yang diambil adalah dualisme, bahwa hukum nasional terpisah dari hukum internasional karena perbedaan yang mendasar pada; sumber hukum, subjek hukum, struktur hukum dan ruang lingkup pelaksanaannya.
Dengan teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum internasional dengan hukum nasional, keduanya berdiri secara terpisah, tidak akan ada pertentangan kaedah tetapi yang ada adalah penyelarasan kaedah melalui inkorporasi atau transformasi. Setelah adanya penyelarasan, kaedah internasional tersebut dapat diberlakukan dalam wilayah nasional baik secara langsung (self executing) maupun dengan aturan terpisah (non-self executing), jika ada kaedah internasional yang tidak sesuai dengan kaedah nasional merupakan otoritas legislatif untuk mengesampingkannya.

Indonesia juga cenderung menggunakan proses delegasi daripada transformasi dan inkorporasi. Untuk inkorporasi barangkali Indonesia tidak punya perangkat materil yang mengatur secara eksplisit, Indonesia berusaha menggunakan proses transformasi dalam beberapa perjanjian, namun proses tansformasi menuntut dikeluarkannya hukum nasional tentang kaedah internasional yang diproses, tetapi Indonesia cenderung membiarkan kaedah internasional tersebut sebagaimana aslinya. Contoh pada United Nations Convention on The Law of the Sea III 1982 (UNCLOS III) yang aturan-aturannya diberlakukan melalui ratifikasi dan diterbitkan beberapa aturan seperti UU No.17 Th 1985 tentang pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), aturan pengasahan tersebut sama sekali tidak merubah kaedah yang ada dalam UNCLOS III. akibatnya status perairan nasional yang seharusnya dapat diklaim sebagai perairan internal, malah menjadi perairan kepulauan, dengan konsekuensi pemberlakuan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di wilayah tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengaruh Reog Terhadap Masyarakat Ponorogo

Review Film Battle in Seattle

Keterampilan Berkomunikasi dan Bernegoisasi