MNC dan Liberalisasi di Indonesia
Rd. Adityawarman
 
UU Penanaman Modal Asing (UU No. 1/1967)
dikeluarkan untuk menarik investasi asing guna membangun ekonomi nasional. Di
Indonesia adalah wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk
memberikan persetujuan dan ijin atas investasi langsung luar negeri. Dalam
dekade terakhir ini pemodal asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia
karena tidak stabilnya kondisi ekonomi dan politik. Kini muncul tanda-tanda
bahwa situasi ini berubah: ada sekitar 70% kenaikan FDI di paruh pertama tahun
2005, bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi sebesar 5-6% sejak akhir 2004. Pada
awal 2005, Inggris, Jepang, Cina, Hong Kong, Singapura, Australia, dan Malaysia
adalah sumber-sumber FDI yang dianggap penting. Menurut data statistik UNCTAD,
jumlah total arus masuk FDI di Indonesia adalah US$1.023 milyar pada tahun 2004
(data terakhir yang tersedia); sebelumnya US$0.145 milyar pada tahun 2002,
$4.678 milyar pada tahun 1997 dan $6.194 milyar pada tahun 1996 [tahun puncak].
Pertumbuhan penanaman modal swasta asing
secara langsung (foreign direct investment)-yakni, yang dana-dana investasinya
langsung digunakan untuk menjalankan kegiatan bisnis atau mengadakan alat-alat
atau fasilitas produksi seperti memberi lahan, membuka pabrik-pabrik,
mendatangkan mesin-mesin, membeli bahan baku, dan sebagainya di Negara-negara
dunia ketiga seperti di Indonesia ini, telah berlangsung secara sangat cepat
selama sekian dasawarsa terakhir ini. Apabila pada tahun 1962 nilai totalnya baru
mencapai sekitar US$ 2,4 miliar, maka di tahun 1980 jumlahnya telah melonjak
menjadi sekitar US$ 11 miliar, kemudian naik lagi hingga US$ 35 miliar di tahun
1990, serta berpuncak sebesar lebih dari US$ 120 ,miliar di tahun 1997. dari
keuntungan yang sedemikian besar diperoleh ini, hanya sekitar 60 persen dari
total dana investasi asing tersebut yang mengalir ke Negara-negara di Asia.
Perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin
menyedot sumber daya alam menguasai pasar (baik yang sudah ada dan menguntungkan
maupun yang baru muncul) dan menekan biaya produksi dengan mempekerjakan buruh
murah di negara berkembang, biasanya adalah para penanam modal asing ini.
Contoh ‘klasik’ FDI semacam ini misalnya adalah perusahaan-perusahaan
pertambangan Kanada yang membuka tambang di Indonesia atau perusahaan minyak
sawit Malaysia yang mengambil alih perkebunan-perkebunan sawit di Indonesia.
Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement, Newmont, Rio Tinto dan Freeport McMoRan,
dan INCO semuanya memiliki investasi langsung di Indonesia. Namun demikian,
kebanyakan FDI di Indonesia ada di sektor manufaktur di Jawa, bukan sumber daya
alam di daerah-daerah.
Salah satu aspek penting dari FDI adalah bahwa
pemodal bisa mengontrol atau setidaknya punya pengaruh penting manajemen dan produksi
dari perusahaan di luar negeri. Hal ini berbeda dari portofolio atau investasi
tak langsung, dimana pemodal asing membeli saham perusahaan lokal tetapi tidak
mengendalikannya secara langsung. Biasanya juga FDI adalah komitmen
jangka-panjang. Itu sebabnya ia dianggap lebih bernilai bagi sebuah negara
dibandingkan investasi jenis lain yang bisa ditarik begitu saja ketika ada
muncul tanda adanya persoalan.
Undang-Undang penanaman Modal Pertama
dikeluarkan pada waktu masa pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden
Soeharto, yaitu Undang-Undang No.1 tahun 1967, dikatakan dengan jelas bahwa
beberapa jenis bidang usaha sepenuhnya tertutup bagi perusahaan asing, yaitu
pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan,
air minum, perkereta-apian (KA), tenaga nuklir, dan media massa. Kesemua bidang
ini dibatasi adanya campur tangan oleh pihak asing karena bidang-bidang ini
dapat dikategorikan sebagai usaha yang bernilai strategis bagi Negara dan
kehidupan sehari-hari rakyat banyak yang seharusnya tidak boleh dipengaruhi
oleh pihak asing (terdapat di pasal 6 ayat 1).
Setahun kemudian dibuatlah Undang-Undang yang
mengatur tentang penanaman modal dalam negeri (UU No.6 tahun 1968), yang
didalamnya (Pasal 3 ayat 1), menyatakan sebagai berikut : “Perusahaan Nasional
adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51 % daripada modal dalam negeri yang
ditanam di dalmnya dimiliki oleh Negara dan / atau swasta nasional”. Dengan
kata lain, berdasarkan Undang-Undang ini, pemodal asing hanya boleh memiliki
modal maksimal,  sebanyak-sebanyaknya 49% dalam sebuah perusahaan. Namun
kemudian, pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan pemerintah yang menjamin
investor asing bisa memiliki hingga 95% saham perusahaan yang
bergerak dalam bidang “… pelabuhan; produksi dan transmisi serta
distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; penerbangan, pelayaran, KA; air
minum, pembangkit tenaga nuklir; dan media massa” (PP No. 20/1994
Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1).
Penanaman Modal Swasta Asing Secara Langsung (FDI), 1970-1997
| 
Penanaman FDI | 
Penerima Utama FDI, 1997 | ||
| 
Tahun | 
Total FDI netto 
(dalam US$ miliar) | 
Negara Penerima | 
FDI yang diterima
  (persentase total) | 
| 
1970 
1980 
1990 
1991 
1992 
1993 
1994 
1995 
1996 
1997 | 
3,1 
10,9 
23,7 
35,1 
42,5 
53,2 
78,1 
96,3 
118,9 
119,4 | 
Cina 
Brasil 
Meksiko 
Indonesia 
Polandia 
Malaysia 
Argentina 
India 
Venezuela Negara 
berkembang lainnya | 
31 
13 
7 
5 
4 
3 
3 
3 
2 
29 | 
Selanjutnya dibawah kepemimpinan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah Indonesia mengadakan International
Infrastructure Summit pada tanggal 17 Januari 2005 dan BUMN summit
pada tanggal 25-26 Januari 2005. Infrastructure summit menghasilkan keputusan
eksplisit bahwa seluruh proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing untuk
mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian. Pembatasan hanya akan tercipta dari
kompetisi antarperusahaan. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak
akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing
yang beroperasi di Indonesia.
 BUMN summit menyatakan jelas bahwa
seluruh BUMN akan dijual pada sektor privat. Dengan kata lain, artinya tak akan
ada lagi barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan biaya murah
yang disubsidi dari pajak. Di masa depan seluruh barang dan jasa bagi publik
akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang penyediaannya murni
karena motif untuk mendapatkan laba. Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan proses
liberalisasi yang saat ini sedang berlangsung di semua sektor di Indonesia dan
menunjukkan pentingnya FDI bagi pemerintah Indonesia.
Komentar
Posting Komentar