Humanitarian Interention
Rd. Adityawarman 
Kasus kemanusiaan
memang semakin marak terjadi dan menjadi isu yang dibicarakan di dunia
internasional sehingga secara otomatis menjadi isu internasional. Dalam kasus
kemanusiaan, berbagai aktor dan organisasi pasti terlibat dalam pemberian
bantuan. Baik pemerintah, non-pemerintah, masyarakat lokal, maupun aktor
transnasional. Dalam proses pemberian bantuan ini, tentunya  bantuan yang diberikan oleh pihak Negara yang
notabenenya pasti diambil dari kebijakan luar negeri, pasti penuh dengan unsur
politik. 
Pada masa akhir Perang Dingin, bantuan
yang diberikan oleh suatu negara dalam mengatasi masalah kemanusiaan yang
terjadi di negara yang sedang berkonflik disebut sebagai sebuah intervensi.
Dimana dalam Black’s Law Dictionary, intervensi merupakan tindakan ‘ikut
campur’ suatu negara dalam urusan negara lain dengan menggunakan kekuatan atau
ancaman. Sedangkan menurut Parry and Grant, intervensi merupakan suatu kegiatan
ikut campur suatu negara dalam urusan negara lain dengan tujuan untuk menjaga
atau mengubah kondisi actual tertentu. Sedikit berbeda dengan yang diungkapkan
oleh Lauterpach, dimana intervensi adalah sebuah tindakan ikut campur suatu
negara secara diktaktor tentang urusan internal negara lain, guna mengubah atau
memelihara keadaan maupun situasu dalam negeri tersebut.
            Humanitarian intervention telah lama
mejadi praktek dalam masyarakat internasional dan selalu identik dengan bantuan
yang bersifat keras atau militer, seperti misalnya intervensi kemanusiaan yang
dilakukan oleh Rusia di Turki atas nama kaum nasionalis Bulgaria tahun 1877,
intervensi AS di Kuba tahun 1898, Perancis melakukan intervensi di Syria tahun
1860 dan praktek ini terus berlanjut hingga saat ini dimana intervensi terakhir
terjadi Libya tahun 2011. 
Noam Chomsky mempopulerkan term baru yaitu “New Military Humanism”, dimana term ini
mulai digunakan ketika akhir perang dingin dimana Uni Soviet kalah oleh AS dan
hal ini membuat AS untuk lebih meningkatkan kekuatan militernya di dunia. Masa
pemerintahan George W. Bush mengusulkan Strategi Keamanan Nasional yang mulai
fokus pada ancaman yang bisa timbul dari konflik Dunia Ketiga, seperti
terorisme yang merajalela, perdagangan narkoba, dan lain-lain. Pendekatan baru
ini diperlukan untuk menekan berbagai tindakan ilegal dan tidak manusiawi yang
terjadi di luar negeri. AS bisa mempertahankan kehadiran militer yang besar
baik di dalam atau di sekitar lingkungan Negara yang sedang berkonflik.
Kehadiran militer di negara berkembang ini mengilhami istilah baru yaitu
"Humanisme militer," yang menggambarkan penggunaan kekerasan atau
kekuatan untuk murni tujuan kemanusiaan. 
Invasi militer AS masalah Kuwait Irak adalah
salah satu bentuk humanism militer yang pada saat itu dianggap berhasil oleh
dunia. Campur tangan AS dalam masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi di
Negara-negara berkembang saat itu rupanya berhasil mendongkrak nilai AS dimata
dunia sebagai Negara dengan kekuatan militer besar dan dianggap mampu 
menjadi polisi Dunia. Noam Chomsky
mengganggap AS mampu menggunakan strategi “Military Humanism” sebagai alat atau
cara untuk meningkatkan dan memperluas pengaruh mereka di dunia. Disini Noam
mengatakan bahwa segala bentuk bantuan atas nama kemanusiaan terlalu naif jika
dikatakan bebas nilai.
            Intervensi
yang dilakukan oleh AS semata-mata murni demi tujuan kemanusiaan secara tidak
langsung membuat mereka menjadi otoritas global tertinggi. Sehingga di dunia
saat ini, bentuk-bentuk bantuan kemanusiaan oleh Negara yang bebas nilai
semakin pudar bahkan nyaris hilang. Karena tiap Negara semakin gencar
menggunakan kebijakan luar negerinya untuk meraih keuntungan yang lebih untuk
mendapatkan kekuasaan yang lebih. Dan hal itu bisa mereka dapatkan dari
kegiatan-kegiatan bantuan kemanusiaan.
            Tetapi
di era kontemporer saat ini, bentukan intervensi kemanusiaan tidak hanya
dikategorikan sebagai sesuatu yang berbentuk kekerasan ataupun militer karena
bentuk intervensi kemanusiaan yang saat ini sering terjadi justru cenderung
berbentuk kerjasama. Seperti bantuan kemanusiaan yang diberikan terkait bencana
alam yang cenderung justru bersifat kerjasama, meskipun pada akhirnya bertujuan
untuk kepentingan politik demi membina hubungan diplomatik yang semakin baik. 
            Beberapa
orang beranggapan bahwa bantuan kemanusiaan idealnya bersifat bebas nilai.
Meskipun humanity dan humanisme, begitu juga Liberalisme menjelaskan bahwa pada
dasarnya setiap manusia baik, tetapi melihat realita yang ada bahwa ketika
seseorang bertindak baik, tentunya dengan harapan akan diperlakukan yang sama
dengan orang lain. Begitu juga halnya dengan negara. Negara pasti memiliki
kepentingan nasional yang harus dipenuhi untuk bisa survive, maka dari itu negara yang tergerak hatinya untuk membantu
negara lain yang mengalami kasus kemanusiaan, pasti memiliki harapan akan
diperlakukan sama ketika mendapatkan masalah. Sehingga timbulah hubungan timbal
balik yang saling menguntungkan.
            Berbagai
intervensi kemanusiaan selalu diikuti dengan pro dan kontra. Bagi yang pro atas
tindakan intervensi kemausiaan, tindakan tersebut dipandang sebagai jalan
keluar yang tepat untuk membebaskan orang-orang yang mengalami tindakan
pelanggaran HAM di daerah yang berkonflik. Sedangkan bagi yang kontra, tindakan
intervensi tersebut justru melemahkan kedaulatan negara, berpotensi merusak
aturan yang ada di dalam piagam PBB, mengancam pemerintahan yang sah dalam
negara yang diintervensi dan mengancam stabilitas internasional. Hal ini
diakibatkan oleh penggunaan kekuatan bersenjata dalam pelaksanaan intervensi
kemanusiaan.
S:  Sagung Alit Satyari
 
Komentar
Posting Komentar