Kemampuan Mengubah Keyakinan
Di kehidupan dewasa ini, banyak manusia yang menglami pesimis akan
adanya keyainan yang tidak dapat dikembangkan secara otodidak, para pakar
psikologis memberikan gagasan tentang timbulnya suatu keyakinan pada diri
masing-masing, yaitu tepatnya ketika mereka merasa pesimis tersebut kemudian
datang kepadanya sesorang yang membawanya dari ruang kepasrahan. Tidak banyak
orang yang menerima dorongan dari orang terdekatnya atau orang yang
dicintainya, atau lebih dikenal dengan sebaya, tidak mengalami perubahan
keinginan untuk bangkit pada diri mereka masing-masing. Sejatinya setiap orang
pasti memiliki suara hati yang membisikkannya pada hal-hal yang bersifat
positif, namun orang yang tdak biasa merespon apa yang telah dikatakan oleh
hati nuraninya, maka ia pun enggan untuk melakukan apa yang telah di bisikkan
kepadanya, meski hal positif sekalipun.
Penyelewengan akan
keyakinan akan menjerumuskan pada hal yang tidak di kehendaki, dan akan kembali
pada diri kita sendiri. Sayangnya, masalah yang menjadi tren yang seharusnya
tidak ada di bumi ini adalah hilanngnya kebenaran akan keyakinan, dampak
tersebut berujung pada kematian, hanya dikarenakan keyakinannya yang tidak
sejalan dengan keinginannya. Hal terbodoh yang dilakukan oleh orang yang
merasakan pesimis yaitu bunuh diri. Dalam hukum agama tidak dibenarkan akan
bolehnya kita melakukan hal tersebut meski untuk menghilangkan masalah pada
orang lain. Namun tidak bila kita melihat pada hukum konsekuensi agama, malah
keputusan tersebut akan menambah kesulitan yang amat sulit di kemudian hari.
Dengan bersikap
konsisten seseorang akan bekerja berdasarkan kekuatan sendiri. Dan kekuatan itu
bersumber dari keyakinan dan rasa percaya diri. Apa yang harus dikerjakan
merupakan pilihan hidup. Bukan suatu beban yang memberatkan bagi tubuh maupun
pikirannya. Demikianlah sikap hidup yang benar. Padahal di sekitar kita tidak
sedikit orang bekerja karena takut kehilangan pekerjaan, yang berarti
kehilangan upah. Akibatnya, mereka bekerja tidak dilandasi rasa kesukaan atas
pekerjaan itu. Mereka bekerja semata-mata atas dasar upah. Titik. Tidak ada
orientasi apa pun terhadap pekerjaannya itu, hingga mereka tidak memiliki
rekomendasi apa pun bagi kemajuan dirinya maupun institusi di mana ia bekerja.
Pekerja yang demikian itu, seperti kemukakan Peter F. Drucker (1997),
sebenarnya dapat disebut sebagai pekerja manual (manual worker).
Pekerja yang
senantiasa bisa dinilai berdasarkan kuantitas serta kualitas dari suatu hasil
yang bisa ditentukan dan telah pasti. Pekerja manual hanya memerlukan
efisiensi. Dengan kata lain kemampuan untuk melakukan segala sesuatunya dengan
tepat, dan bukannya kemampuan untuk membuat hal-hal yang tepat bisa terlaksana.
Ini berbeda dengan pekerja berpengetahuan (knowledge worker), yang menggunakan
efektifitas sebagai teknologi khusus.
Pekerja model
terakhir ini tidak bisa diawasi secara dekat dan terinci. Ia hanya bisa
dibantu. Namun ia harus mengarahkan dirinya sendiri, dan dia harus bisa
memberikan kinerja dan kontribusi untuk bisa mencapai efektifitas. Pekerja
berpengetahuan tidak bisa menghasilkan sesuatu yang efektif dengan sendirinya.
Ia tidak menghasilkan sebuah produk fisik, seperti sekop, sepasang sepatu, atau
sebuah komponen mesin. Tetapi, ia menghasilkan pengetahuan, ide-ide, dan
informasi. "Produk-produk" semacam itu seolah tidak ada gunanya.
Seorang berpengetahuan yang lain, harus menerimanya sebagai input dan
mengubahnya menjadi output sebelum mereka menemukan wujudnya yang nyata. Dengan
demikian, pekerja berpengetahuan harus mengerjakan sesuatu yang tidak perlu
dikerjakan oleh pekerja manual. Ia harus menyediakan efektifitas. Ia tidak bisa
menggantungkan diri pada perlengkapan yang menyertai output-nya, sebagaimana
halnya dengan sepasang sepatu yang dibuat dengan baik. Kebutuhan akan hadirnya
orang-orang yang memiliki prinsip dan orientasi ke masa depan adalah
keniscayaan. Peluang yang tidak begitu banyak diminati orang. Hanya orang yang
memiliki modal tekat yang kuat, keberanian mengambil risiko, di samping
keyakinan serta rasa percaya diri. Orang seperti ini tidak sedang melakukan
percobaan-percobaan dalam mempertaruhkan nasib, sebaliknya justru memiliki
keyakinan penuh bahwa dirinya adalah orang yang tepat untuk pekerjaan itu.
Itulah sebabnya ia memiliki rasa tanggung jawab sepenuhnya atas
keputusan-keputusannya. Dirinya siap mengambil risiko apa pun, termasuk
kehilangan pekerjaan itu sendiri bila tanggung jawabnya menuntut hal yang
demikian. Memiliki nilai-nilai panutan Kaidah keempat, yang tidak kalah
pentingnya dari kaidah-kaidah sebelumnya, bahwa seseorang harus memiliki nilai
panutan. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Dalam hal ini biasanya adalah
nilai-nilai yang bersumber dari kebenaran ajaran agama, menyusul pendapat
kalangan pemikir maupun orang-orang sukses.
Dengan memiliki keyakinan terhadap nilai
panutan, alam pikir bawah sadar manusia akan bekerja mengolahnya menjadi
kekuatan membangkitan motivasi diri. Tentu saja, nilai panutan itu akan
mewarnai setiap ide, gagasan, termasuk pemikiran seseorang. Adanya keyakinan
penuh seseorang terhadap nilai panutan, seolah tak ada keadaan yang dapat
mengalahkannya. Demikian dahsyatnya kekuatan yang dikandung sebuah keyakinan
atas nilai panutan. Kita sering terkagum bercampur haru mendengarkan
kisah-kisah dalam perang. Seperti diperlihatkan dalam kancah perang Irak-Iran,
Palestine-Israel, perjuangan rakyat Chechnya, perang Vietnam, dan perang-perang
lainnya. Ada satu kisah heroik dari medan perang Irak-Iran, ketika kepada
orangtuanya dikabarkan dua anaknya tewas tertembak dalam perang, mereka
menjawab: "Saya tidak sedih. Saya bahagia dan bangga. Jika saat ini masih
memiliki anak lagi, dan pantas untuk berperang. Saya pun pasti
memberangkatkannya ke medan pertempuran". Itulah kekuatan yang tumbuh dari
keyakinan atas nilai-nilai kebenaran yang dianut.
Keyakinan yang
tumbuh dan bersumber dari nilai-nilai religius, berdasarkan bukti-bukti empirik
yang dimulai hampir sejak kelahiran manusia di bumi ini, terbukti paling kuat
pengaruhnya. Terbentuknya individu-individu yang memiliki nilai panutan positif
sebagai keyakinan bersikap, akan membangkitkan pola berpikir serta tindakan
yang senantiasa membangun. Berpikir responsif (Al aqliyyah al Iijabiyyah)
demikian itu merupakan ujung tombak bagi proses-proses pengembangan untuk
pencapaian kemenangan diri. Di dunia ini dapat diyakini tidak ada seorang
manusia pun yang akan berpikiran negatif, ketika kepada dirinya disampaikan
pikiran-pikiran yang positif-responsif. Sebab itulah Nabi Muhammad menegaskan:
"Senyumanmu terhadap saudaramu (sesama manusia) adalah sedekah".
Tebar senyum kepada semua orang, maka semua orang akan tersenyum pula kepadamu.
Setelah mereka tersenyum, pikiran-pikiran mereka pun akan terbuka dalam dimensi
yang positif, dan itu berarti mereka sudah siap menerima kita, ide-ide kita,
gagasan-gagasan kita, atau apa pun yang bakal memberikan kemenangan bersama
(win-win solution).
Dalam tahapan
proses dialogis yang semacam itu, janganlah sekali-kali terbersit dalam pikiran
kita niatan untuk melakukan manipulasi-manipulasi yang bertujuan
mengeksploitasi situasi kondusif yang telah tercipta. Biarkanlah suasana
berkembang sebagaimana adanya. Yang penting, bahkan perlu dimotivasi adalah,
menciptakan secara terus-menerus tanpa rasa bosan situasi yang mampu
menumbuh-kembangkan pikiran-pikiran positif dalam kerangka mewujudkan ide-ide maupun
gagasan-gagasan menjadi sebuah realitas. Meyakini kebenaran nilai yang kita
anut, bila hal itu bersumber dari Allah, dalam iman orang beragama, maka hal
itu dapat dinyatakan sebagai wujud pengabdian. Sebaliknya, bila gejala
pengabdian itu dilakukan terhadap sesuatu yang lain, dapatlah disebut telah
melakukan penuhanan kepada toghut, yang arti harfiyahnya adalah berhala. Pada
dasarnya manusia itu hanya mempunyai pilihan, yaitu agama kemanusiaan dan agama
perbudakan. Agama kemanusiaan memilih cinta sebagai orientasi, sedangkan agama
perbudakan bisa memilih kekuasaan atau seks sebagai obyek pengabdian. Dan,
manusia yang menyerahkan dirinya untuk dikuasai oleh sesuatu, berarti
menjadikan sesuatu yang menguasainya itu toghut. Dalam dimensi yang demikian itu,
manusia yang seperti itu sebenarnya telah kehilangan eksistensinya.
Keyakinan melahirkan sesuaatu yang
dapat membangun pada dan dapat membangun
apa yang tidak dimungkinkan untuk terjadi merutu kemampuan yang lebih dari
biasanya, namun, semua itu tidak aka nada hasil yang sempurna tanpa adanya
pekerjaa untuk merubah semua itu. Diri kita sendirir sering sekali mengalami
kejanggalan ketika kita hendak mengerjakan sesuatu yang kita anggap mustahil,
padahal semua itu bisa kita lakukan hanya dengan hal keyakinan, semua orang
yang memiliki keyakinan tinggi pasti lebih memiliki karir yang tinggi pula,
tidak menuntut pada setiap orang untuk melakukan hal tersebut untuk
menyelesaikan apa yang harus bahkan perlu dilakukannya,
Di era yang dibilang sulit mencari
orang yang memiliki keyakinan yang minim, menjurus pada sesuatu negative,
seperti contoh saat sedang melakukan karir yang lebih dari biasanya pasti jika
orang tersebut merasakan minder yang sangat mendalam maka akan erjadi hal yang
tidak diinginkan untuk derasakan, itulah mengapa banyak para tantara harus
melakukan perlatihan untuk melatih mental dan menghilangkan rasa minder
padadiri mereka, dan ketika itu manusia dapat dianggap menjadi orang yang
berhasil Karena ia telah melakkan pekerjaaan yang mustahil untuk dilakukan.
Keberhasilan tersebut adalah upah dari rasa yang telah ia alami untuk
meningkatkan rasa optimism yang mendalam dan sangat tinggi. Dan inti dari semua
yang telah tertera di atas yaitu kita harus lebih merasakan optimism pada hati
kita untuk menigkatkan sesuatu meleihi yang lainnya. Rumusan yang telah
dirisetkan oleh para ahli psikologi telah dimiliki atau telahdi pelajari oleh
para pebisnis besar dalam memberikan wwejangan terhadap para kariyawannya, demi
membangun motivasi yang tinggi dalam melakukan pekerjaan perusahaan.
Sikap yang pastinya akan dirasakan
oleh para pejuang atau orang yang sedang menggaarap sesuatu akan merasakan
bosan yang mendalam sedalam-dalamnya ketika ia melakukan pekerjaan itu beruang
kali, maka ia akan merasakan kejenuhan, mungkin setiap orang memiliki batas
kebosanan yang berbeda dengan orang lain, Karena setiap diri seseorang memiliki
emosional yang berbeda pula.
Komentar
Posting Komentar