Pemilu Amerika Serikat Dalam Prespektif Islam
ABSTRAK
Setiap negara pasti memiliki sistem pemerintahannya sendiri begitupun cara pengangkatan pemimpin baru mereka. Berbagai macam cara dilakukan untuk mengangkat dan mengesahkan pemimpin negara yang baru. Dalam hal ini Amerika Serikat dengan menyandang negara demokrasi dan federasi menggunakan sistem pemilihan umum yang jelas berbeda dengan Islam yang menggunakan bai‟at untuk mengankat seorang pemimpin baru.
Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan dan persamaan antara sistem pemilu yang diadakan di Amerika Serikat dengan bai‟at yang dilaksanakan umat Islam di masa khulafaur rasyidin. Juga merupakan salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia. Dan dengan harapan para pembaca paham perbendaan antara sistem pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat dengan bai‟at yang dilakukan umat Islam. Metode pembahasan yang digunakan dalam pembahasan ini adalah metode studi pustaka. Penulis mencari beberapa referensi buku yang berkaitan dengan pembahasan dan membandingkan apa yang diutarakan oleh buku tersebut.
Hasil dari pembahasan ini adalah adanya perbedaan dan persamaan pada kedua sistem tersebut. Salah satu perbedaannya adalah pemilu yang dilaksanakan di Amerika Serikat mengandung unsur kampanye dan debat, sedangkan sistem bai‟at tidak mengandung dua unsur tersebut. Sedangkan salah satu persamaannya adalah kedua sistem ini berawal dari suara rakyat yang disalurkan pada wakil-wakil mereka.
Kata kunci: Sistem pemilu Amerika Serikat, bai‟at umat Islam.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap negara memiliki sistem pemerintahan masing-masing yang mereka terapkan di negaranya. Maka negara tersebut akan berjalan dalam koridor yang sudah diatur oleh sistem perundang-undangan yang ada. Baik dalam pemilihan presiden maupun dewan perwakilan rakyat yang nantinya akan menyalurkan berbagai aspirasi rakyat untuk kemajuan suatu bangsa.
Agama Islam adalah agama yang sempurna baik dari tatanan hidup maupun dari segi peraturan yang terlampir di dalam Al-Qur‟an. Islam sangat memperhatikan segala bentuk kegiatan para penganutnya, dimulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dari pertama kali lahir ke bumi hingga nanti kembali ke perut bumi. Islam sangat memperhatikan bentuk kegiatan yang terjalin antara individu dengan penciptanya juga antara individu dengan individu yang lain.
Dalam hidup bermasyarakat seluruh manusia memiliki berbagai sistem yang mereka percayai dan mereka yakini. Baik dalam bidang keagamaan maupun sistem pemerintahan di suatu negara. Dengan kata lain umat islam tidak hidup sendirian dalam menjalani kehidupan di bumi ini akan tetapi hidup berdampingan dengan perbedaan paham dan sistem pemerintahan.
Dalam pembahasan kali ini penulis akan membahas sistem pemilihan umum yang dilaksanakan di negara bagian barat dalam prespektif islam. Penulis berpendapat bahwa adanya perbedaan antara sistem pemilu yang dilaksanakan di negara bagian barat dengan apa yang islam terapkan dalam hal ini. Sepertihalnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam mengadakan pemilihan presiden, mereka mengadakan beberapa tahapan sebelum akhirnya dapat memilih calon presiden sedangkan islam memilih khalifahnya dengan bai‟at yang tidak dengan tahapan-tahapan yang rumit.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari paparan latar belakan masalah yang ada penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
a. bagaimana sistem pemilihan umum yang dianut oleh Amerika Serikat?
b. bagaimana sistem pemilihan umum dalam pandangan Islam?
c. apa pandangan Islam dalam pemilihan umum yang dilaksanakan di Amerika?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
a. Untuk mengetahui perbandingan antara sistem pemilihan Islam dan Amerika.
b. Sebagai tugas dalam mata kuliah Bahasa Indonesia.
1.4 MANFAAT PEMBAHASAN
Adapun manfaat dari pembahasan ini adalah untuk mengembangkan wawasan pembaca akan pemilu yang diadakan di Amerika Serikat dan dapat membandingkannya dengan prespektif Islam. Sehingga pembaca dapat menyimpulkan prespektif Islam dalam pemilu yang diadakan di Amerika Serikat.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 NABI MUHAMMAD SEBAGAI PEMIMPIN AGAMA DAN POLITIK
Posisi nabi Muhammad dalam Islam adalah utusan yang ditunjuk Allah untuk memimpin agama, politik, dan militer yang merupakan faktor sentral dalam menjaga kesatuan umat Islam baik secara religus maupun secara politik. Ketika nabi Muhammad wafat meninggalkan beberapa persoalan bagi para pengikutnya yakni siapakah yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam.
Saat jenazah nabi Muhammad akan dimakamkan sekelompok kecil Anshar mengadakan perkumpulan kecil di Saqifat Bani Sa‟eda dan memilih Abu Bakar, seorang sahabat terdekat, sebagai penerus (dan sebagai khalifah pertama). Akan tetapi beberapa pihak tidak menyetujui keputusan ini dan lebih memihak kepada Ali bin Abi Thalib sebagai penerus setelah wafatnya Rasulullah. Ishiyama & Breuning (2013:920)
Sejak saat itu sistem kekhalifahan atau imamah masih diperdebatkan bagaimana cara menjalankan sistem ini. Bani Umayyah-kekhalifahan islam kedua (setelah kehilafahan Rasyidun dari empat khalifah pertama) yang didirikan setelah wafatnya nabi Muhammad berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan menyatakan khalifah harus menunjuk sendiri penerusnya.
Maka sebelum wafat, Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya. Umar kemudian mendelegasikan pemilihan selanjutnya kepada Majelis Al-Syura, dewan konsultatif. Dewan ini memilih Utsman sebagai khalifah ketiga, akan tetapi muncul pemberontakan maka Ali menjadi khalifah selanjutnya. Ali memimpin perang sipil pertama dikalangan muslim dalam Perang Jamal (Perang Unta). Setelah suksesi Ali, pecah perang sipil kedua, Perang Shiffin, antara pendukung Ali dan pendukung Mu‟awiyyah bin Abi Sufyan yang kelak mendirikan Dinasti Umayyah.
Ringkasnya, sejarah agama dan politik islam dapat disimpulkan menjadi beberapa pendapat:
a. Nabi Muhammad tidak memberi petunjuk untuk memilih pemimpin setelah beliau wafat.
b. Beberapa tahun setelah nabi Muhammad meninggal muncul empat pola pemilihan: 1. Pemilihan terbatas (Abu Bakar), 2. Pencalonan oleh khalifah (Umar) 3. Syura atau musyawarah (Utsman) dan 4. Kudeta (Ali).
c. Persoalan pemilihan atau suksesi menimbulkan konflik politik besar dan menyebabkan perpecahan dalam Islam yang membelah umat menjadi Sunni dan Syiah. Ishiyama & Breuning (2013:920)
2.2 PENDEFINISIAN PARTAI POLITIK AMERIKA SERIKAT
Robert Huckshorn mendefinisikan partai politik sebagai kelompok otonom warga negara yang bertujuan mengajukan nominasi dan bersaing dalam pemilu dengan harapan mendapatkan kekuasaan di pemerintahan melalui jabatan publik dan organisasi pemerintahan. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
Menurut John K. White sarjana politik kontemporer telah menawarkan dua model partai politi: model rasional-efisien dan model partai bertanggung jawab. Model partai rasional-efisien pertama kali dikemukakan oleh Anthony Downs yang berpendapat bahwa kemenangan pemilu adalah tujuan utama dari partai politik. Ia berpendapat bahwa politisi terutama tertarik untuk mengamankan syarat kekuasaan, “Partai merumuskan kebijakan untuk memenangkan pemilu, bukan memenangkan pemilu untuk merumuskan kebijakan. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
Downs menegaskan bahwa voter berindak secara rasional dan dengan menggunakan informasi yang disediakan oleh kandidat dan partai-partai dalam rangka memutuskan pilihan yang mereka yakini akan meningkatkan keamanan ekonomi dan fisik mereka. Pada tahun 1950 American Political Science Associations Committee on Political Parties menerbitkan laporannya, “Toward a More Responsible Two Party System”. Komite ini berpendapat bahwa partai-partai seharusnya mengembangkan progran dan kemudian menjalankannya ketika kandidat mereka terpilih. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
Partai seperti itu akan memberikan pilihan jelas kepada voter dan memberikan kemenangan kepada partai untuk berkuasa, dan membuat mereka bertanggung jawab kepada elektorat. Maka voter dalam pemilu berikutnya, secara retrospektif memilih berdasarkan hasil kinerja partai yang berkuasa. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 DASAR-DASAR HUKUM BAI’AT TERHADAP KHALIFAH
Ketika syariah mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka, syariah juga telah menentukan metode pengangkatan yang harus dilaksanakan untuk mengangkat khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma‟ Sahabat. Metode itu adalah bai‟at. Dengan demikian, pengangkatan khalifah itu dilakukan dengan bai‟at kaum Muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah.
Kedudukan bai‟at sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan berdasarkan bai‟at kaum Muslim kepada Rasulullah saw. dan berdasarkan perintah Beliau kepada kita untuk membai‟at seorang imam/khalifah. An-Nabhani (2002:80)
Bai‟at kaum Muslim kepada Rasul saw. sesungguhnya bukanlah bai‟at atas kenabian, melainkan bai‟at atas pemerintahan. Sebab, bai‟at itu adalah bai‟at atas amal, bukan bai‟at untuk membenarkan kenabian. Beliau dibai‟at tidak lain dalam kapasitasnya sebagai penguasa, bukan dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul. Sebab, pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan masalah bai‟at. Dengan demikian, bai‟at kaum Muslim kepada Beliau itu tidak lain adalah bai‟at dalam kapasitas Beliau sebagai kepala negara. Masalah bai‟at itu telah tercantum dalam al-Quran dan al- Hadits. Allah SWT telah berfirman: يٰٰٓؤيَُّهَا الىَّبِىُّ إِذَا جَآءَكَ الْمُؤْمِىٰتُ يُبَايِعْىَلَ عَلَىٰٰٓ أَن لََّّ يُشْسِمْهَ بِاللَّهِ شَئًْا وَلََّ يَسْسِ قْهَ وَلََّ يَزْوِيهَ وَلََّ يَقْتُلْهَ أَوْلٰدَهُهَّ وَلََّ يَؤْتِيهَ
بِبُهْتٰهٍ يَفْتَسِيىَهۥُ بَيْهَ أَيْدِيهِهَّ وَأَزْجُلِهِهَّ وَ لََّ يَعْصِيىَلَ فِى مَعْسُوفٍ فَبَايِعْهُهَّ وَاسْتَغْفِسْ لَهُهَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُىزٌ زَّحِيمٌ
) الممتحىة: ٢١ (
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anakanaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka. (QS Mumtahanah [60]: 12). إِنَّ الَّرِيهَ يُبَايِعُىوَلَ إِوَّمَا يُبَايِعُىنَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَىْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَه وَّنَثَ فَئِوَّمَا يَىنُثُ عَلَىٰ وَفْسِهۦِ وَمَهْ أَوْفَىٰ بِمَا عٰهَدَ عَلَيْهُ
اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْسًا عَظِيمًا ) الفتح: ٢۰ (
Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu hakikatnya adalah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah (QS al-Fath [48]: 10).
Imam Al-Bukhari juga telah menuturkan riwayat sebagai berikut: Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku, dari Yahya bin Said, bahwa ia pernah berkata: Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengatakan: Kami telah membai’at Rasulullah saw agar senantiasa mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senan; agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tanpa takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela. (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-„Ash disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Siapa saja yang telah membai’at seorang imam/khalifah, lalu ia telah memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu. (HR Muslim). Dalam Shahîh Muslim dari Abu Said al-Khudzri juga dikatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Jika dibai’at dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim). An-Nabhani (2002:82)
Imam Muslim juga menuturkan riwayat dari Abu Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun dan aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw., bahwa Beliau pernah bersabda: “Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah bai’at yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”. (HR Muslim).
Nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah bai‟at. Seluruh Sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Pembai‟atan Khulafaur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini. An-Nabhani (2002:84)
3.2 PROSEDUR PENGANGKATAN DAN PEMBAI’ATAN KHALIFAH
Sesungguhnya prosedur yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibai‟at boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana yang pernah terjadi secara langsung pada Khulafaur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Seluruh Sahabat mendiamkan dan menyetujui tatacara itu. Padahal tatacara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan kaum Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.
Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian kaum Muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Tahrir (2006:44)
Dari hasil diskusi itu dibai‟atlah Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membai‟at Abu Bakar di sana. Dengan demikian, bai‟at di Saqifah adalah bai‟at in„iqad. Dengan itulah Abu Bakar menjadi khalifah kaum Muslim. Sementara itu, bai‟at di masjid pada hari kedua merupakan bai‟at taat. Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian, dan khususnya karena pasukan kaum Muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Romawi, maka Abu Bakar memanggil kaum Muslim untuk
meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah kaum Muslim sepeninggalnya.
Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum Muslim, maka Abu Bakar menunjuk Umar yakni mencalonkannya, sesuai dengan bahasa sekarang agar Umar menjadi khalifah setelahnya. Penunjukkan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah setelah Abu Bakar. Sebab, setelah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membai‟at Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan.
Artinya, dengan bai‟at inilah Umar sah menjadi khalifah kaum Muslim; bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim, juga bukan dengan proses penunjukkan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad Kekhilafahan kepada Umar tentu tidak lagi diperlukan bai‟at kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui bai‟at kaum Muslim. Tahrir (2006:45)
Ketika Umar tertikam, kaum Muslim memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Setelah mereka terus mendesak, beliau menunjuk enam orang, yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum Muslim. Kemudian beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari, sebagaimana yang telah beliau tentukan bagi mereka.
Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara yang menolak satu orang, maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang” Demikianlah, itu terjadi sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Tarikh ath-Thabari, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku Al- Imamah wa as-Siyasah yang lebih dikenal dengan sebutan Tarikh al-Khulafa‟, dan oleh Ibn Saad dalam Thabaqat al-Kubra. Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka.
Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan. Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin Auf berkata, “Siapa di antara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satupersatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak.
Akhirnya, jawabannya terbatas pada dua orang: Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum Muslim dengan menanyai mereka siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin Auf melakukannya bukan hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari.
Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata, „Aku melihat engkau tidur. Demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini yakni tiga malam dengan banyak tidur”. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah pembai‟atan Utsman. Dengan bai‟at kaum Muslim itulah Utsman menjadi khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang di atas. Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membai‟at Ali bin Abi Thalib. Dengan bai‟at kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah. Dengan meneliti tatacara pembai‟atan Khulafaur Rasyidin di atas oleh para Sahabat semoga Allah meridhai mereka jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat, dan jelas pula bahwa syarat in„iqad terpenuhi dalam diri masing-masing calon. Kemudian diambillah pendapat dari Ahl al-Halli wa al-‟Aqdi di antara kaum Muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Tahrir (2006:47)
Mereka yang merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa Khulafaur Rasyidin, karena mereka adalah para Sahabat semoga Allah meridhai mereka atau penduduk Madinah. Siapa saja yang dikehendaki oleh para Sahabat atau mayoritas para
Sahabat untuk dibai‟at dengan bai‟at in„iqad, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslim wajib pula membai‟atnya dengan bai‟at taat.
Demikianlah proses terwujudnya Khalifah yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembai‟atan Khulafaur Rasyidin semoga Allah meridhai mereka.
3.3 SEJARAH PEMILU AMERIKA SERIKAT
Pemilihan dan hak pilih bagi setiap orang (universal suffrage) berkembang lambat di negara yang mengklaim dirinya sebagai benteng demokrasi. Antara saat kemerdekaan 1776-1830 hanya mereka yang mampu membayar pajak yang diiberi kesempatan untuk memberikan suara. Baru pada tahun 1920 muncul perubahan yang cukup berarti ketika Amandemen ke-19 diratifikasi yang memungkinkan bagi wanita untuk ikut serta dalam pemilihan.
Pada tahun 1965, ketika undang-undang hak pilih sudah disahkan orang-orang kulit hitam baik di utara maupun di selatan mendapatkan kebebasan penuh dalam memilih. Perkembangan paling akhir terjadi pada tahun 1972 ketika usia pemilih diturunkan dari umur 21 tahun menjadi 18 tahun perubahan ini terjadi akibat protes yang dilancarkan pada awal tahun 1960-an. Cipto (2007:32)
Hak pilih pada mulanya merupakan baarang mewah bagi bangsa Amerika pada awal berdirinya. Tidak semua warganegara Amerika memilikin hak untuk memilih terlebih lagi dipilih untuk menempati jabatan publik. Hanya mereka yang memiliki harta kekayaan tertentu berhak ikut dalam pemilihan. Pandangan yang tidak demokratis ini diperdebatkan dalam Konvensi Philadelphia tahun 1787.
Rintangan bagi warganegara miskin untuk mendapatkan hak pilih baru bisa berakhir sekitar setengah abad setelah proklamasi kemerdekaan Amerika. Selama itu dan kurang lebih dua dekade setelahnya keagamaan seseorang masih menjadi permasalahan bagi warganegara biasa untuk memilih. Sebuah ironi sejarah bagi bangsa yang saat ini mengklaim sebagai negara demokrasi. Cipto (2007:33)
3.4 PEMILIHAN ANGGOTA KONGRES
Pemilihan anggota kongres Amerika berbeda dengan pemilihan presiden sekalipun keduanya didukung oleh antusisasme yang relatif sama. Perbedaan yang paling jelas adalah bahwa dalam pemilihan anggota kongres mereka yang sedang menjabat justru memiliki peluang lebih besar untuk dipilih kembali dibandingkan dengan mereka yang sedang tidak menjabat. Cipto (2007:39)
Sukses terpilihnya kembali anggota kongres yang sedang menjabat disebabkan beberapa hal, antara lain:
1. Sumber daya dan sumber dana yang mereka kuasai jauh lebih besar dibandingkan dengan calon yang belum pernah menjabat
2. Disamping itu mereka yang sedang menjabat juga cenderung lebih banyak mendapatkan sumbangan dari para penyandang dana seperti PACs (political actions commitees)
3. Para calon cenderung menekankan isu-isu yang kurang kontroversial untuk menjaga hubungan dengan para pemilih.
Pemilihan anggota kongres dilaksanakan berdasarkan sistem plurality vote. Dalam sistem pemilihan ini tidak diperlukan suara mayoritas. Dengan demikian siapapun yang memperoleh suara terbanyak dari sebuah distrik maka dia berhak memperoeh kemenangan sekalipun tidak mencapai suara mayoritas. Sistem yang berlaku adalah winner-take-all. Siapapun yang memperoleh suara terbanyak berhak mewakili distrik tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives). Karena hanya ada satu kursi yang tersedia di setiap distrik jadi memenangkan pemilihan di sebuah distrik seolah-olah memenangkan seluruh kursi yang ada. Cipto, (2007:40)
Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan suara mayoritas menimbulkan apa yang dikenal sebagai matthew effect. Sebagai misal, dalam pemilihan kongres 1982 partai Demokrat memperoleh 56% suara pemilih namun bisa mendapatkan 62% kursi di House. Sebaliknya, sekalipun partai Republik mengumpulkan 43% suara pemilih secara nasional namun hanya mampu mendapatkan 36% kursi di House. Partai Demokrat memenangkan suara di distrik-distrik yang kecil sehingga jumlah suara pemilih secara nasional lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kursi yang diperolehnya di House.
3.5 PEMILIHAN PRESIDEN
Pemilihan presiden di Amerika merupakan merupakan kegiatan yang menyenangkan sekaligus melelahkan khususnya bagi para calon presiden. Orang Amerika memilih presiden dalam kurun waktu empat tahun sekali. Pemilihan presiden dipilih secara langsung. Beberapa diantaranya tidak dipilih secara langsung namun karena sedang menjabat wakil presiden yang karena alasan tertentu menggantikan kedudukan presiden.
Jalan menuju Gedung Putih sesungguhnya sangat rumit dan konpleks serta membutuhkan tenaga, pikiran dan biaya yang sangat besar dari calon presiden yang sedang bertarung. Sehingga tidak jarang ada calon yang berhenti di tengah jalan karena tidak mampu untuk melanjutkan persaingan yang ketat untuk mendapat kedudukan terhormat di Amerika. Cipto (2007:41)
Ada beberapa rangkaian kegiatan sebelum berlangsungnya pemilihan presiden yakni berupa rangkaian acara penunjang:
3.5.1 NOMINASI
Nominasi adalah dukungan resmi partai politik kepada calon presiden. Proses nominasi yang sesungguhnya berakhir dalam konvensi nasional partai pada musim panas atau tepatnya pada akhir bulan Juli atau awal bulan Agustus menjelang pemilihan presiden pada bulan November.
Pada awalnya nominasi dilakukan melalui caucus partai di negara bagian. Sistem caucus ini memberi legitimasi bagi para petinggi partai untuk tetap mempartahankan dan mengendalikan pengaruhnya atas partai politik yang dipimpinnya. Petinggi partai menentukan siapa yang akan dikirim sebagai delegasi dalam konvensi partai nsional.
Alternatif lain sebagai awal pemilihan presiden adalah pemilihan primary. Dalam proses ini pemilih memberikan suara kepada calon delegasi dalam konvensi partai. Pemilihan primary tidak hanya memilih delegasi namun juga merupakan indikasi awal apakah seorang calon dapat memenangkan pemilihan.
3.5.2 KONVENSI
Konvensi merupakan kegiatan partai utama yang telah berumur lebih dari 150 tahun. Konvensi hanya berlangsung selama empat hari namun acaranya sangat padat dan menentukan masa depan partai. Meskipun demikian, pada umumnya para delegasi telah mengetahui siapa yang akan dinominasikan sebagai calon presiden mendatang.
Hari pertama konvensi dipenuhi dengan acara mendengarkan laporan-laporan dari komisi mandat. Komisi inilah yang menentukan pengesahan delegasi. Jika timbul persoalan berkaitan dengan keabsahan delegasi maka komisi mandat akan segera mengambil allih dan menyelesaikan persoalan tersebut. Hari pertama diakhiri dengan sebuah pidato kunci dari tokoh yang biasanya yang menjelaskan sukses partai di masa lalu dan masa depan partai. Cipto (2007:43)
Hari kedua konvensi cenderung semakin hangat dengan agenda utama menyusun platform partai. Komisi platform menjadi penanggung jawab utama jalannya konvensi pada hari kedua. Proses penyusunan platform partai biasanya berlangsung sengit karena berkaitan dengan isu-isu nasional yang sedang hangat. Mengingat pemilihan presiden akan segera berlangsung beberapa bulan setelah konvensi biasanya mereka yang terlibat kontroversi akan memilih mempertahankan persatuan partai untuk mencapai kemenangan pemilu pada bulan November.
Hari ketiga adalah hari yang mentukan selama kegiatan selama konvensi empat hari tersebut. Pada hari ketiga ini nominasi dan calon presiden diselenggarakan. Bersamaan dengan proses nominasi ruangan konvensi juga berubah menjadi ajang kampanye para pendukung calon-calon yang ada ajang kampanye para pendukung calon-calon yang akan dinomonasikan. Serangkaian pidato oleh para pendukung calon juga diselenggarakan untuk menopang pencalonan mereka. Cipto (2007:43)
Seluruh acara pada hari keempat baru berakhir tengah malem saat calon presiden telah terpilih. Hari terakhir konvensi ditandai dengan pemilihan calon wakil presiden yang kemudian akan disahkan oleh konvensi. Konvensipun berakhir pada hari keempat dan tahapan kampanye calon presiden pun telah menunggu calon presiden untuk bersaing melawan calon presiden dari partai lain.
3.5.3 KAMPANYE
Setelah konvensi partai merupakan saat yang lebih menegangkan lagi bagi para calon presiden. Sesudah konvensi beberapa calon presiden mengalami kenaikan popularitas sedangkan sebagian calon presiden yang lain mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Apapun kata pilling presiden setelah konvensi harus segera memusatkan diri pada upaya kampanye presiden yang sesungguhnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sukses tidaknya kampanye presiden yakni:
1. Citra dan kepribadian calon presiden, kampanye presiden amerika lebih merupakan menjual citra dan kepribadian presiden. Para pemilih di Amerika kurang tertarik dari logo partai sebagai mana masih menjadi pusat perhatian utama di negara-negara demikrasi baru.
2. Antara isu dan prosposal, kampanye presiden di Amerika lebih menuntut kemampuan calon untuk merumuskan isu yang tepat dan mengena. Sebaliknya, proposal yang terlalu rumit justru akan menimbulkan kesulitan bagi pemilih.
3. Kelebihan calon yang sedang menjabat, calon-calon yang sedang menjabat sebelumnya memiliki kelebihan dibandingkan para calon yang tidak sedang menjabat saat itu. Mereka yang sedang menjabat dapat menjalankan rose garden strategy. Presiden menyelenggarakan pertemuan resmi dengan petinggi negara asing atau membuat pernyataan-pernyataan di taman bunga mawar di gedung putih. Kegiatan ini dapat dibilang kampanye yang terselubung dan dibenarkan selama presiden dapat menempatkan dirinya sebagai petingggi negara. Cipto (2007:46)
Sejak lama kampanye diperlakukan sebagai sesuatu yang dibolehkan, dan sarjana-sarjana lebih banyak memperhatikan perilaku voting sebagai satu-satunya elemen penting dari kampanye. Namun selama 20 tahun terakhir muncul kajian tentang elemen-lemen kampanye. Profesionalisme mendominasi kampanye tingkat federal, entah itu untuk pemilu presiden atau kongres. Profesionalisme menimbulkan pemikiran yang lebih strategis tentang bagian-bagian dari semua pelaku kampanye dan gaya pelaksanaan kampanye yang lebih konsisten. Ishiyama & Breuning (2013:1289)
3.6 ELECTORAL COLLEGE
Electoral college system adalah sistem pemilihan presiden di Amerika. Sekalipun pemiihan preseiden Amerika selalu dikatakan sebagai pemilihan langsung namun sesungguhnya pemilihan tidak benar-brnar dilakukan secara langsung. Pemilihan dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan oleh rakyat Amerika secara langsung untuk mendapatkan population votes. Pemilihan langsung ini tidak memlih nama presiden namun memilih para electors di masing-masing negara bagian. Dan tahapan ke dua adalah pemilihan presiden oleh para electors. Cipto (2007:46)
Para pemilih presiden atau presidential electors di setiap negara bagaian merupakan gabungan dari jumlah senator negara bagian tersebut (dua orang dan sama tiap negara bagian) ditambah dengan jumlah anggota House yang berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya. Setiap partai memiliki presidential electors masing-masing di setiap negara bagian. Mereka adlah orang-orang yang dinilai sangat loyal pada partainya sehingga dipaercaya sebagai pemilih presiden di negara masing-masing. Dengan demikian pemilihan pertama hanyalah memilih presidential electors bukan memilih presiden.
Maka secara nasional banyaknya popular votes yang dikumpulkan para calon presiden tidak menjamin bahwa ia akan terpilih sebagai presiden. Sebaliknya jika ia dapat mengumpulkan lebih banyak electoral votes maka dapat dipastikan ia akan terpilih sebagai presiden. Cipto (2007:47)
3.7 PANDANGAN ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU AMERIKA SERIKAT
Dalam hal ini, Islam banyak mengkritisi sistem pemilihan umum yang berlaku di Amerika Serikat. Selain itu, sistem pemilu sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan yang dianut. Sistem pemerintahan Islam bukanlah republik, di mana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi yang kedaulaannya ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang memerintah serta membuat aturan dan rakyatlah yang menentukan uantuk memilih seseorang untuk menjadi penguasa dan juga berhak untuk memecatnya. Sedangkan sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar aqidah Islam serta hukum-hukum syara‟. Di mana kedaulatannya di tangan syara‟ bukan di tangan umat. Umat tidak diperkenankan untuk memecat khalifah akahn tetapi umat berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam juga menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka bai‟at untuk menjadi wakil mereka. An-Nabhani (2002:31)
Sistem pemerintahan Islam juga bukan federasi yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Sehingga sistem pemilu yang diadakan juga memiliki beberapa tahapan rumit dan panjang dalam menentukan pemimpim baru. Berbeda dengan Islam yang menganut sistem kesatuan. Jadi semua daerah berada dalam satu payung pemerintahan Islam yang berlandaskan dengan syara‟ sebagai undang-undang. Dengan ini sistem pemilu yang dianut oleh Islam adalah sistem bai‟at yang sangat bertolak belakang dengan sistem presidensial yang dianut oleh Amerika Serikat. An-Nabhani (2002:33)
Dengan bai‟at khalifah diangkat. Bai‟at dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah bai‟at umat terhadap khalifah dan yang kedua adalah bai‟at umat untuk taat kepada khalifah. Sehingga dengan adanya bai‟at, umat tidak diperkenankan untuk memecat khalifah atau bahkan memerangi dan menentang apa yang khalifah tetapkan. Selama berjalannya masa pembai‟atan calon khalifah, calon khalifah tidak mengadakan kampanye atau bahkan berdebat dengan calon lawan lainnya akan tetapi ia tetap menjaga kerukunan dan hubungan dengan yang lainnya.
Berbeda dengan sistem presidensial yang berlaku di Amerika Serikat, dengan sistem pemilihan umum, langkah pertama yang dilakukan adalah pemilihan para anggota kongres terlebih dahulu sebelum pemilihan presiden. Dilanjutkan dengan pemilihan presiden setelah terpilihnya anggota kongres. Selama berjalannya masa-masa pemilihan presiden, ada masa kampanye calon presiden, seakan mereka menjual dirinya dengan janji-janji masa depan yang mereka tawarkan jika terpilih. Juga sebelum diadakan pemilihan presiden diadakan debat antar calon kandidat. Perdebatan ini biasanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kesejeahteraan masyarakat dan isu-isu kontemporer tentang negara. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sistem pemilu yang dianut oleh Amerika Serikat sangat bertentangan dengan sistem bai‟at yang diterapkan Islam untuk menentukan seorang pemimpin. Yang mana terlalu banyak permasalahan dan perdebatan yang ditimbulkan oleh sistem presidensial yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Karena sistem pemilihannya tidak dilandasi unsur-unsur Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat memahami bahwa sistem pemilu yang dianut di Amerika Serikat sangatlah bertentangan dengan sistem bai‟at yang diterapkan Islam meskipun ada hal-hal yang sama dalam pelaksanaannya, hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bai‟at yang dilakukan umat Islam dalam pengankatan khalifah sangat bergantung dan berpacuan terhadap Al-Qur‟an dan As-Sunnah sehingga para ulama memiliki pedoman yang kuat dan menyerahkan diri kepada Allah untuk diberi petunjuk dalam pembai‟atan khalifah. Sedangkan sistem pemilu yang diterapkan di Amerika Serikat tidak dilandasi oleh nilai-nilai Al-Qur‟an dan As-Sunnah sehingga sering terjadi kekacauan dalam sistem itu sendiri
2. Bai‟at tidak membenarkan perdebatan antar calon pemimpin dengan tujuan menjaga keutuhan dan persatuan umat muslim. Sedangkan pemilu membenarkan kan menjadikannya sebuah agenda dari calon presiden, maka tidak dapat dipungkiri akan terbagi menjadi beberapa kubu pendukung calon presiden dan ini akan menjadi sebuah awal perpecahan umat.
3. Bai‟at juga tidak membenarkan aksi berkampanye bagi para calon khalifah yang Islam berpandangan bahwa kampanye adalah tidak lebih dari menjual diri sendiri dengan janji-janji yang dijanjikan apabila terpilih kelak. Sedangkan pemilu di Amerika Serikat mengadakan kampanye besar-besaran untuk para calon presiden terpilih dari partainya. Kampanye merekapun didisain dengan sedemikian menarik dan elegan untuk memikat minat masyarakat. Kampanye juga menghabiskan anggaran yang sangat besar dan tidak sedikit hal ini sangat bertentangan dengan Islam yang sangat menghindari sifat tabzir atau menyia-nyiakan sesuatu untuk hal yang kurang bermanfaat.
4. Adapun kesamaan pada keduanya adalah pertama, kedua sistem ini berawal dari suara rakyat yang disalurkan pada wakil-wakil mereka. Kedua, para wakil yang menentukan siapa calon yang pantas untuk menjadi khalifah atau presiden. Ketiga, pemilihan atau bai‟at berlangsung dengan landasan: kejujuran, terbuka dan adil.
4.2 SARAN
Islam adalah agama yang sempurna dengan dua pusaka abadi yang terus menjadi acuan dan rujukan bagi para penganutnya yakni Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Meski sistem Khilafah Islam sudah pudar, akan tetapi nilai-nilai pada sistem ini tetap hidup di sekitar kita. Dalam pengangkatan pemimpin baru alangkah baiknya kita bangsa Indonesia dapat mengadopsi lebih banyak dari sistem bai‟at yang berlaku ketika zaman khulafaur rasyidin.
Dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam seharusnya Indonesia dapat lebih banyak menerapkan sitem pemerintahan Islam dalam pemilu atau bahkan sistem pemerintahannya sendiri. Dengan berlandaskan Al-Qur‟an dan As-Sunnah pada suatu sistem, maka dapat dipastikan sistem tersebut tidak akan ada kerancuan di dalamnya, dengan catatan bagi petugas yang menjalankan sistem tersebut terus bergantung dan berserah diri ke pada Allah sebagai pencipta dan Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu.
Ilmu adalah solusi dan solusi itu harus benar maka ilmu itu harus benar. Ilmu harus dicari dari sumber kebenaran dan sumber kebenaran itu tidak mungkin salah, maka dapat dipastikan sumber kebenaran pasti benar. Sedangkan yang pasti benar itu adalah Allah. Allah menurunkan kebenaran melalui wahyu dalam bentuk Al-Qur‟an. Maka jika Al-Qur‟an itu adalah wahyu dan wahyu berasal dari Allah dan Allah adalah sumber kebenaran maka Al-Qur‟an adalah sumber kebenaran. Jika ilmu dicari dari sumber kebenaran dan sumber kebenaran itu adalah Al-Qur‟an, maka Al-Qur‟an adalah sumber ilmu.
Daftar Pustaka
An-Nabhani, T. (2002). Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: AL-IZZAH.
Cipto, D. B. (2007). Politik & Pemerintahan AMERIKA. Yogyakarta: Lingkaran Buku.
Ishiyama, J. T., & Breuning, M. (2013). ILMU POLITIK DALAM PARADIGMA ABAD KE-21. Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP.
Tahrir, H. (2006). Struktur Negara Khilafah. Jakarta: HTI-Press.
Setiap negara pasti memiliki sistem pemerintahannya sendiri begitupun cara pengangkatan pemimpin baru mereka. Berbagai macam cara dilakukan untuk mengangkat dan mengesahkan pemimpin negara yang baru. Dalam hal ini Amerika Serikat dengan menyandang negara demokrasi dan federasi menggunakan sistem pemilihan umum yang jelas berbeda dengan Islam yang menggunakan bai‟at untuk mengankat seorang pemimpin baru.
Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan dan persamaan antara sistem pemilu yang diadakan di Amerika Serikat dengan bai‟at yang dilaksanakan umat Islam di masa khulafaur rasyidin. Juga merupakan salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia. Dan dengan harapan para pembaca paham perbendaan antara sistem pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat dengan bai‟at yang dilakukan umat Islam. Metode pembahasan yang digunakan dalam pembahasan ini adalah metode studi pustaka. Penulis mencari beberapa referensi buku yang berkaitan dengan pembahasan dan membandingkan apa yang diutarakan oleh buku tersebut.
Hasil dari pembahasan ini adalah adanya perbedaan dan persamaan pada kedua sistem tersebut. Salah satu perbedaannya adalah pemilu yang dilaksanakan di Amerika Serikat mengandung unsur kampanye dan debat, sedangkan sistem bai‟at tidak mengandung dua unsur tersebut. Sedangkan salah satu persamaannya adalah kedua sistem ini berawal dari suara rakyat yang disalurkan pada wakil-wakil mereka.
Kata kunci: Sistem pemilu Amerika Serikat, bai‟at umat Islam.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap negara memiliki sistem pemerintahan masing-masing yang mereka terapkan di negaranya. Maka negara tersebut akan berjalan dalam koridor yang sudah diatur oleh sistem perundang-undangan yang ada. Baik dalam pemilihan presiden maupun dewan perwakilan rakyat yang nantinya akan menyalurkan berbagai aspirasi rakyat untuk kemajuan suatu bangsa.
Agama Islam adalah agama yang sempurna baik dari tatanan hidup maupun dari segi peraturan yang terlampir di dalam Al-Qur‟an. Islam sangat memperhatikan segala bentuk kegiatan para penganutnya, dimulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dari pertama kali lahir ke bumi hingga nanti kembali ke perut bumi. Islam sangat memperhatikan bentuk kegiatan yang terjalin antara individu dengan penciptanya juga antara individu dengan individu yang lain.
Dalam hidup bermasyarakat seluruh manusia memiliki berbagai sistem yang mereka percayai dan mereka yakini. Baik dalam bidang keagamaan maupun sistem pemerintahan di suatu negara. Dengan kata lain umat islam tidak hidup sendirian dalam menjalani kehidupan di bumi ini akan tetapi hidup berdampingan dengan perbedaan paham dan sistem pemerintahan.
Dalam pembahasan kali ini penulis akan membahas sistem pemilihan umum yang dilaksanakan di negara bagian barat dalam prespektif islam. Penulis berpendapat bahwa adanya perbedaan antara sistem pemilu yang dilaksanakan di negara bagian barat dengan apa yang islam terapkan dalam hal ini. Sepertihalnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam mengadakan pemilihan presiden, mereka mengadakan beberapa tahapan sebelum akhirnya dapat memilih calon presiden sedangkan islam memilih khalifahnya dengan bai‟at yang tidak dengan tahapan-tahapan yang rumit.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari paparan latar belakan masalah yang ada penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
a. bagaimana sistem pemilihan umum yang dianut oleh Amerika Serikat?
b. bagaimana sistem pemilihan umum dalam pandangan Islam?
c. apa pandangan Islam dalam pemilihan umum yang dilaksanakan di Amerika?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
a. Untuk mengetahui perbandingan antara sistem pemilihan Islam dan Amerika.
b. Sebagai tugas dalam mata kuliah Bahasa Indonesia.
1.4 MANFAAT PEMBAHASAN
Adapun manfaat dari pembahasan ini adalah untuk mengembangkan wawasan pembaca akan pemilu yang diadakan di Amerika Serikat dan dapat membandingkannya dengan prespektif Islam. Sehingga pembaca dapat menyimpulkan prespektif Islam dalam pemilu yang diadakan di Amerika Serikat.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 NABI MUHAMMAD SEBAGAI PEMIMPIN AGAMA DAN POLITIK
Posisi nabi Muhammad dalam Islam adalah utusan yang ditunjuk Allah untuk memimpin agama, politik, dan militer yang merupakan faktor sentral dalam menjaga kesatuan umat Islam baik secara religus maupun secara politik. Ketika nabi Muhammad wafat meninggalkan beberapa persoalan bagi para pengikutnya yakni siapakah yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam.
Saat jenazah nabi Muhammad akan dimakamkan sekelompok kecil Anshar mengadakan perkumpulan kecil di Saqifat Bani Sa‟eda dan memilih Abu Bakar, seorang sahabat terdekat, sebagai penerus (dan sebagai khalifah pertama). Akan tetapi beberapa pihak tidak menyetujui keputusan ini dan lebih memihak kepada Ali bin Abi Thalib sebagai penerus setelah wafatnya Rasulullah. Ishiyama & Breuning (2013:920)
Sejak saat itu sistem kekhalifahan atau imamah masih diperdebatkan bagaimana cara menjalankan sistem ini. Bani Umayyah-kekhalifahan islam kedua (setelah kehilafahan Rasyidun dari empat khalifah pertama) yang didirikan setelah wafatnya nabi Muhammad berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan menyatakan khalifah harus menunjuk sendiri penerusnya.
Maka sebelum wafat, Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya. Umar kemudian mendelegasikan pemilihan selanjutnya kepada Majelis Al-Syura, dewan konsultatif. Dewan ini memilih Utsman sebagai khalifah ketiga, akan tetapi muncul pemberontakan maka Ali menjadi khalifah selanjutnya. Ali memimpin perang sipil pertama dikalangan muslim dalam Perang Jamal (Perang Unta). Setelah suksesi Ali, pecah perang sipil kedua, Perang Shiffin, antara pendukung Ali dan pendukung Mu‟awiyyah bin Abi Sufyan yang kelak mendirikan Dinasti Umayyah.
Ringkasnya, sejarah agama dan politik islam dapat disimpulkan menjadi beberapa pendapat:
a. Nabi Muhammad tidak memberi petunjuk untuk memilih pemimpin setelah beliau wafat.
b. Beberapa tahun setelah nabi Muhammad meninggal muncul empat pola pemilihan: 1. Pemilihan terbatas (Abu Bakar), 2. Pencalonan oleh khalifah (Umar) 3. Syura atau musyawarah (Utsman) dan 4. Kudeta (Ali).
c. Persoalan pemilihan atau suksesi menimbulkan konflik politik besar dan menyebabkan perpecahan dalam Islam yang membelah umat menjadi Sunni dan Syiah. Ishiyama & Breuning (2013:920)
2.2 PENDEFINISIAN PARTAI POLITIK AMERIKA SERIKAT
Robert Huckshorn mendefinisikan partai politik sebagai kelompok otonom warga negara yang bertujuan mengajukan nominasi dan bersaing dalam pemilu dengan harapan mendapatkan kekuasaan di pemerintahan melalui jabatan publik dan organisasi pemerintahan. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
Menurut John K. White sarjana politik kontemporer telah menawarkan dua model partai politi: model rasional-efisien dan model partai bertanggung jawab. Model partai rasional-efisien pertama kali dikemukakan oleh Anthony Downs yang berpendapat bahwa kemenangan pemilu adalah tujuan utama dari partai politik. Ia berpendapat bahwa politisi terutama tertarik untuk mengamankan syarat kekuasaan, “Partai merumuskan kebijakan untuk memenangkan pemilu, bukan memenangkan pemilu untuk merumuskan kebijakan. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
Downs menegaskan bahwa voter berindak secara rasional dan dengan menggunakan informasi yang disediakan oleh kandidat dan partai-partai dalam rangka memutuskan pilihan yang mereka yakini akan meningkatkan keamanan ekonomi dan fisik mereka. Pada tahun 1950 American Political Science Associations Committee on Political Parties menerbitkan laporannya, “Toward a More Responsible Two Party System”. Komite ini berpendapat bahwa partai-partai seharusnya mengembangkan progran dan kemudian menjalankannya ketika kandidat mereka terpilih. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
Partai seperti itu akan memberikan pilihan jelas kepada voter dan memberikan kemenangan kepada partai untuk berkuasa, dan membuat mereka bertanggung jawab kepada elektorat. Maka voter dalam pemilu berikutnya, secara retrospektif memilih berdasarkan hasil kinerja partai yang berkuasa. Ishiyama & Breuning (2013:1235)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 DASAR-DASAR HUKUM BAI’AT TERHADAP KHALIFAH
Ketika syariah mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka, syariah juga telah menentukan metode pengangkatan yang harus dilaksanakan untuk mengangkat khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma‟ Sahabat. Metode itu adalah bai‟at. Dengan demikian, pengangkatan khalifah itu dilakukan dengan bai‟at kaum Muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah.
Kedudukan bai‟at sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan berdasarkan bai‟at kaum Muslim kepada Rasulullah saw. dan berdasarkan perintah Beliau kepada kita untuk membai‟at seorang imam/khalifah. An-Nabhani (2002:80)
Bai‟at kaum Muslim kepada Rasul saw. sesungguhnya bukanlah bai‟at atas kenabian, melainkan bai‟at atas pemerintahan. Sebab, bai‟at itu adalah bai‟at atas amal, bukan bai‟at untuk membenarkan kenabian. Beliau dibai‟at tidak lain dalam kapasitasnya sebagai penguasa, bukan dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul. Sebab, pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan masalah bai‟at. Dengan demikian, bai‟at kaum Muslim kepada Beliau itu tidak lain adalah bai‟at dalam kapasitas Beliau sebagai kepala negara. Masalah bai‟at itu telah tercantum dalam al-Quran dan al- Hadits. Allah SWT telah berfirman: يٰٰٓؤيَُّهَا الىَّبِىُّ إِذَا جَآءَكَ الْمُؤْمِىٰتُ يُبَايِعْىَلَ عَلَىٰٰٓ أَن لََّّ يُشْسِمْهَ بِاللَّهِ شَئًْا وَلََّ يَسْسِ قْهَ وَلََّ يَزْوِيهَ وَلََّ يَقْتُلْهَ أَوْلٰدَهُهَّ وَلََّ يَؤْتِيهَ
بِبُهْتٰهٍ يَفْتَسِيىَهۥُ بَيْهَ أَيْدِيهِهَّ وَأَزْجُلِهِهَّ وَ لََّ يَعْصِيىَلَ فِى مَعْسُوفٍ فَبَايِعْهُهَّ وَاسْتَغْفِسْ لَهُهَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُىزٌ زَّحِيمٌ
) الممتحىة: ٢١ (
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anakanaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka. (QS Mumtahanah [60]: 12). إِنَّ الَّرِيهَ يُبَايِعُىوَلَ إِوَّمَا يُبَايِعُىنَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَىْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَه وَّنَثَ فَئِوَّمَا يَىنُثُ عَلَىٰ وَفْسِهۦِ وَمَهْ أَوْفَىٰ بِمَا عٰهَدَ عَلَيْهُ
اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْسًا عَظِيمًا ) الفتح: ٢۰ (
Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu hakikatnya adalah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah (QS al-Fath [48]: 10).
Imam Al-Bukhari juga telah menuturkan riwayat sebagai berikut: Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku, dari Yahya bin Said, bahwa ia pernah berkata: Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengatakan: Kami telah membai’at Rasulullah saw agar senantiasa mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senan; agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tanpa takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela. (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-„Ash disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Siapa saja yang telah membai’at seorang imam/khalifah, lalu ia telah memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu. (HR Muslim). Dalam Shahîh Muslim dari Abu Said al-Khudzri juga dikatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Jika dibai’at dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim). An-Nabhani (2002:82)
Imam Muslim juga menuturkan riwayat dari Abu Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun dan aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw., bahwa Beliau pernah bersabda: “Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah bai’at yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”. (HR Muslim).
Nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah bai‟at. Seluruh Sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Pembai‟atan Khulafaur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini. An-Nabhani (2002:84)
3.2 PROSEDUR PENGANGKATAN DAN PEMBAI’ATAN KHALIFAH
Sesungguhnya prosedur yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibai‟at boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana yang pernah terjadi secara langsung pada Khulafaur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Seluruh Sahabat mendiamkan dan menyetujui tatacara itu. Padahal tatacara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan kaum Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.
Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian kaum Muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Tahrir (2006:44)
Dari hasil diskusi itu dibai‟atlah Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membai‟at Abu Bakar di sana. Dengan demikian, bai‟at di Saqifah adalah bai‟at in„iqad. Dengan itulah Abu Bakar menjadi khalifah kaum Muslim. Sementara itu, bai‟at di masjid pada hari kedua merupakan bai‟at taat. Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian, dan khususnya karena pasukan kaum Muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Romawi, maka Abu Bakar memanggil kaum Muslim untuk
meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah kaum Muslim sepeninggalnya.
Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum Muslim, maka Abu Bakar menunjuk Umar yakni mencalonkannya, sesuai dengan bahasa sekarang agar Umar menjadi khalifah setelahnya. Penunjukkan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah setelah Abu Bakar. Sebab, setelah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membai‟at Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan.
Artinya, dengan bai‟at inilah Umar sah menjadi khalifah kaum Muslim; bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim, juga bukan dengan proses penunjukkan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad Kekhilafahan kepada Umar tentu tidak lagi diperlukan bai‟at kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui bai‟at kaum Muslim. Tahrir (2006:45)
Ketika Umar tertikam, kaum Muslim memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Setelah mereka terus mendesak, beliau menunjuk enam orang, yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum Muslim. Kemudian beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari, sebagaimana yang telah beliau tentukan bagi mereka.
Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara yang menolak satu orang, maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang” Demikianlah, itu terjadi sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Tarikh ath-Thabari, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku Al- Imamah wa as-Siyasah yang lebih dikenal dengan sebutan Tarikh al-Khulafa‟, dan oleh Ibn Saad dalam Thabaqat al-Kubra. Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka.
Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan. Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin Auf berkata, “Siapa di antara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satupersatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak.
Akhirnya, jawabannya terbatas pada dua orang: Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum Muslim dengan menanyai mereka siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin Auf melakukannya bukan hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari.
Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata, „Aku melihat engkau tidur. Demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini yakni tiga malam dengan banyak tidur”. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah pembai‟atan Utsman. Dengan bai‟at kaum Muslim itulah Utsman menjadi khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang di atas. Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membai‟at Ali bin Abi Thalib. Dengan bai‟at kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah. Dengan meneliti tatacara pembai‟atan Khulafaur Rasyidin di atas oleh para Sahabat semoga Allah meridhai mereka jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat, dan jelas pula bahwa syarat in„iqad terpenuhi dalam diri masing-masing calon. Kemudian diambillah pendapat dari Ahl al-Halli wa al-‟Aqdi di antara kaum Muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Tahrir (2006:47)
Mereka yang merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa Khulafaur Rasyidin, karena mereka adalah para Sahabat semoga Allah meridhai mereka atau penduduk Madinah. Siapa saja yang dikehendaki oleh para Sahabat atau mayoritas para
Sahabat untuk dibai‟at dengan bai‟at in„iqad, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslim wajib pula membai‟atnya dengan bai‟at taat.
Demikianlah proses terwujudnya Khalifah yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembai‟atan Khulafaur Rasyidin semoga Allah meridhai mereka.
3.3 SEJARAH PEMILU AMERIKA SERIKAT
Pemilihan dan hak pilih bagi setiap orang (universal suffrage) berkembang lambat di negara yang mengklaim dirinya sebagai benteng demokrasi. Antara saat kemerdekaan 1776-1830 hanya mereka yang mampu membayar pajak yang diiberi kesempatan untuk memberikan suara. Baru pada tahun 1920 muncul perubahan yang cukup berarti ketika Amandemen ke-19 diratifikasi yang memungkinkan bagi wanita untuk ikut serta dalam pemilihan.
Pada tahun 1965, ketika undang-undang hak pilih sudah disahkan orang-orang kulit hitam baik di utara maupun di selatan mendapatkan kebebasan penuh dalam memilih. Perkembangan paling akhir terjadi pada tahun 1972 ketika usia pemilih diturunkan dari umur 21 tahun menjadi 18 tahun perubahan ini terjadi akibat protes yang dilancarkan pada awal tahun 1960-an. Cipto (2007:32)
Hak pilih pada mulanya merupakan baarang mewah bagi bangsa Amerika pada awal berdirinya. Tidak semua warganegara Amerika memilikin hak untuk memilih terlebih lagi dipilih untuk menempati jabatan publik. Hanya mereka yang memiliki harta kekayaan tertentu berhak ikut dalam pemilihan. Pandangan yang tidak demokratis ini diperdebatkan dalam Konvensi Philadelphia tahun 1787.
Rintangan bagi warganegara miskin untuk mendapatkan hak pilih baru bisa berakhir sekitar setengah abad setelah proklamasi kemerdekaan Amerika. Selama itu dan kurang lebih dua dekade setelahnya keagamaan seseorang masih menjadi permasalahan bagi warganegara biasa untuk memilih. Sebuah ironi sejarah bagi bangsa yang saat ini mengklaim sebagai negara demokrasi. Cipto (2007:33)
3.4 PEMILIHAN ANGGOTA KONGRES
Pemilihan anggota kongres Amerika berbeda dengan pemilihan presiden sekalipun keduanya didukung oleh antusisasme yang relatif sama. Perbedaan yang paling jelas adalah bahwa dalam pemilihan anggota kongres mereka yang sedang menjabat justru memiliki peluang lebih besar untuk dipilih kembali dibandingkan dengan mereka yang sedang tidak menjabat. Cipto (2007:39)
Sukses terpilihnya kembali anggota kongres yang sedang menjabat disebabkan beberapa hal, antara lain:
1. Sumber daya dan sumber dana yang mereka kuasai jauh lebih besar dibandingkan dengan calon yang belum pernah menjabat
2. Disamping itu mereka yang sedang menjabat juga cenderung lebih banyak mendapatkan sumbangan dari para penyandang dana seperti PACs (political actions commitees)
3. Para calon cenderung menekankan isu-isu yang kurang kontroversial untuk menjaga hubungan dengan para pemilih.
Pemilihan anggota kongres dilaksanakan berdasarkan sistem plurality vote. Dalam sistem pemilihan ini tidak diperlukan suara mayoritas. Dengan demikian siapapun yang memperoleh suara terbanyak dari sebuah distrik maka dia berhak memperoeh kemenangan sekalipun tidak mencapai suara mayoritas. Sistem yang berlaku adalah winner-take-all. Siapapun yang memperoleh suara terbanyak berhak mewakili distrik tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives). Karena hanya ada satu kursi yang tersedia di setiap distrik jadi memenangkan pemilihan di sebuah distrik seolah-olah memenangkan seluruh kursi yang ada. Cipto, (2007:40)
Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan suara mayoritas menimbulkan apa yang dikenal sebagai matthew effect. Sebagai misal, dalam pemilihan kongres 1982 partai Demokrat memperoleh 56% suara pemilih namun bisa mendapatkan 62% kursi di House. Sebaliknya, sekalipun partai Republik mengumpulkan 43% suara pemilih secara nasional namun hanya mampu mendapatkan 36% kursi di House. Partai Demokrat memenangkan suara di distrik-distrik yang kecil sehingga jumlah suara pemilih secara nasional lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kursi yang diperolehnya di House.
3.5 PEMILIHAN PRESIDEN
Pemilihan presiden di Amerika merupakan merupakan kegiatan yang menyenangkan sekaligus melelahkan khususnya bagi para calon presiden. Orang Amerika memilih presiden dalam kurun waktu empat tahun sekali. Pemilihan presiden dipilih secara langsung. Beberapa diantaranya tidak dipilih secara langsung namun karena sedang menjabat wakil presiden yang karena alasan tertentu menggantikan kedudukan presiden.
Jalan menuju Gedung Putih sesungguhnya sangat rumit dan konpleks serta membutuhkan tenaga, pikiran dan biaya yang sangat besar dari calon presiden yang sedang bertarung. Sehingga tidak jarang ada calon yang berhenti di tengah jalan karena tidak mampu untuk melanjutkan persaingan yang ketat untuk mendapat kedudukan terhormat di Amerika. Cipto (2007:41)
Ada beberapa rangkaian kegiatan sebelum berlangsungnya pemilihan presiden yakni berupa rangkaian acara penunjang:
3.5.1 NOMINASI
Nominasi adalah dukungan resmi partai politik kepada calon presiden. Proses nominasi yang sesungguhnya berakhir dalam konvensi nasional partai pada musim panas atau tepatnya pada akhir bulan Juli atau awal bulan Agustus menjelang pemilihan presiden pada bulan November.
Pada awalnya nominasi dilakukan melalui caucus partai di negara bagian. Sistem caucus ini memberi legitimasi bagi para petinggi partai untuk tetap mempartahankan dan mengendalikan pengaruhnya atas partai politik yang dipimpinnya. Petinggi partai menentukan siapa yang akan dikirim sebagai delegasi dalam konvensi partai nsional.
Alternatif lain sebagai awal pemilihan presiden adalah pemilihan primary. Dalam proses ini pemilih memberikan suara kepada calon delegasi dalam konvensi partai. Pemilihan primary tidak hanya memilih delegasi namun juga merupakan indikasi awal apakah seorang calon dapat memenangkan pemilihan.
3.5.2 KONVENSI
Konvensi merupakan kegiatan partai utama yang telah berumur lebih dari 150 tahun. Konvensi hanya berlangsung selama empat hari namun acaranya sangat padat dan menentukan masa depan partai. Meskipun demikian, pada umumnya para delegasi telah mengetahui siapa yang akan dinominasikan sebagai calon presiden mendatang.
Hari pertama konvensi dipenuhi dengan acara mendengarkan laporan-laporan dari komisi mandat. Komisi inilah yang menentukan pengesahan delegasi. Jika timbul persoalan berkaitan dengan keabsahan delegasi maka komisi mandat akan segera mengambil allih dan menyelesaikan persoalan tersebut. Hari pertama diakhiri dengan sebuah pidato kunci dari tokoh yang biasanya yang menjelaskan sukses partai di masa lalu dan masa depan partai. Cipto (2007:43)
Hari kedua konvensi cenderung semakin hangat dengan agenda utama menyusun platform partai. Komisi platform menjadi penanggung jawab utama jalannya konvensi pada hari kedua. Proses penyusunan platform partai biasanya berlangsung sengit karena berkaitan dengan isu-isu nasional yang sedang hangat. Mengingat pemilihan presiden akan segera berlangsung beberapa bulan setelah konvensi biasanya mereka yang terlibat kontroversi akan memilih mempertahankan persatuan partai untuk mencapai kemenangan pemilu pada bulan November.
Hari ketiga adalah hari yang mentukan selama kegiatan selama konvensi empat hari tersebut. Pada hari ketiga ini nominasi dan calon presiden diselenggarakan. Bersamaan dengan proses nominasi ruangan konvensi juga berubah menjadi ajang kampanye para pendukung calon-calon yang ada ajang kampanye para pendukung calon-calon yang akan dinomonasikan. Serangkaian pidato oleh para pendukung calon juga diselenggarakan untuk menopang pencalonan mereka. Cipto (2007:43)
Seluruh acara pada hari keempat baru berakhir tengah malem saat calon presiden telah terpilih. Hari terakhir konvensi ditandai dengan pemilihan calon wakil presiden yang kemudian akan disahkan oleh konvensi. Konvensipun berakhir pada hari keempat dan tahapan kampanye calon presiden pun telah menunggu calon presiden untuk bersaing melawan calon presiden dari partai lain.
3.5.3 KAMPANYE
Setelah konvensi partai merupakan saat yang lebih menegangkan lagi bagi para calon presiden. Sesudah konvensi beberapa calon presiden mengalami kenaikan popularitas sedangkan sebagian calon presiden yang lain mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Apapun kata pilling presiden setelah konvensi harus segera memusatkan diri pada upaya kampanye presiden yang sesungguhnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sukses tidaknya kampanye presiden yakni:
1. Citra dan kepribadian calon presiden, kampanye presiden amerika lebih merupakan menjual citra dan kepribadian presiden. Para pemilih di Amerika kurang tertarik dari logo partai sebagai mana masih menjadi pusat perhatian utama di negara-negara demikrasi baru.
2. Antara isu dan prosposal, kampanye presiden di Amerika lebih menuntut kemampuan calon untuk merumuskan isu yang tepat dan mengena. Sebaliknya, proposal yang terlalu rumit justru akan menimbulkan kesulitan bagi pemilih.
3. Kelebihan calon yang sedang menjabat, calon-calon yang sedang menjabat sebelumnya memiliki kelebihan dibandingkan para calon yang tidak sedang menjabat saat itu. Mereka yang sedang menjabat dapat menjalankan rose garden strategy. Presiden menyelenggarakan pertemuan resmi dengan petinggi negara asing atau membuat pernyataan-pernyataan di taman bunga mawar di gedung putih. Kegiatan ini dapat dibilang kampanye yang terselubung dan dibenarkan selama presiden dapat menempatkan dirinya sebagai petingggi negara. Cipto (2007:46)
Sejak lama kampanye diperlakukan sebagai sesuatu yang dibolehkan, dan sarjana-sarjana lebih banyak memperhatikan perilaku voting sebagai satu-satunya elemen penting dari kampanye. Namun selama 20 tahun terakhir muncul kajian tentang elemen-lemen kampanye. Profesionalisme mendominasi kampanye tingkat federal, entah itu untuk pemilu presiden atau kongres. Profesionalisme menimbulkan pemikiran yang lebih strategis tentang bagian-bagian dari semua pelaku kampanye dan gaya pelaksanaan kampanye yang lebih konsisten. Ishiyama & Breuning (2013:1289)
3.6 ELECTORAL COLLEGE
Electoral college system adalah sistem pemilihan presiden di Amerika. Sekalipun pemiihan preseiden Amerika selalu dikatakan sebagai pemilihan langsung namun sesungguhnya pemilihan tidak benar-brnar dilakukan secara langsung. Pemilihan dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan oleh rakyat Amerika secara langsung untuk mendapatkan population votes. Pemilihan langsung ini tidak memlih nama presiden namun memilih para electors di masing-masing negara bagian. Dan tahapan ke dua adalah pemilihan presiden oleh para electors. Cipto (2007:46)
Para pemilih presiden atau presidential electors di setiap negara bagaian merupakan gabungan dari jumlah senator negara bagian tersebut (dua orang dan sama tiap negara bagian) ditambah dengan jumlah anggota House yang berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya. Setiap partai memiliki presidential electors masing-masing di setiap negara bagian. Mereka adlah orang-orang yang dinilai sangat loyal pada partainya sehingga dipaercaya sebagai pemilih presiden di negara masing-masing. Dengan demikian pemilihan pertama hanyalah memilih presidential electors bukan memilih presiden.
Maka secara nasional banyaknya popular votes yang dikumpulkan para calon presiden tidak menjamin bahwa ia akan terpilih sebagai presiden. Sebaliknya jika ia dapat mengumpulkan lebih banyak electoral votes maka dapat dipastikan ia akan terpilih sebagai presiden. Cipto (2007:47)
3.7 PANDANGAN ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU AMERIKA SERIKAT
Dalam hal ini, Islam banyak mengkritisi sistem pemilihan umum yang berlaku di Amerika Serikat. Selain itu, sistem pemilu sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan yang dianut. Sistem pemerintahan Islam bukanlah republik, di mana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi yang kedaulaannya ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang memerintah serta membuat aturan dan rakyatlah yang menentukan uantuk memilih seseorang untuk menjadi penguasa dan juga berhak untuk memecatnya. Sedangkan sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar aqidah Islam serta hukum-hukum syara‟. Di mana kedaulatannya di tangan syara‟ bukan di tangan umat. Umat tidak diperkenankan untuk memecat khalifah akahn tetapi umat berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam juga menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka bai‟at untuk menjadi wakil mereka. An-Nabhani (2002:31)
Sistem pemerintahan Islam juga bukan federasi yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Sehingga sistem pemilu yang diadakan juga memiliki beberapa tahapan rumit dan panjang dalam menentukan pemimpim baru. Berbeda dengan Islam yang menganut sistem kesatuan. Jadi semua daerah berada dalam satu payung pemerintahan Islam yang berlandaskan dengan syara‟ sebagai undang-undang. Dengan ini sistem pemilu yang dianut oleh Islam adalah sistem bai‟at yang sangat bertolak belakang dengan sistem presidensial yang dianut oleh Amerika Serikat. An-Nabhani (2002:33)
Dengan bai‟at khalifah diangkat. Bai‟at dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah bai‟at umat terhadap khalifah dan yang kedua adalah bai‟at umat untuk taat kepada khalifah. Sehingga dengan adanya bai‟at, umat tidak diperkenankan untuk memecat khalifah atau bahkan memerangi dan menentang apa yang khalifah tetapkan. Selama berjalannya masa pembai‟atan calon khalifah, calon khalifah tidak mengadakan kampanye atau bahkan berdebat dengan calon lawan lainnya akan tetapi ia tetap menjaga kerukunan dan hubungan dengan yang lainnya.
Berbeda dengan sistem presidensial yang berlaku di Amerika Serikat, dengan sistem pemilihan umum, langkah pertama yang dilakukan adalah pemilihan para anggota kongres terlebih dahulu sebelum pemilihan presiden. Dilanjutkan dengan pemilihan presiden setelah terpilihnya anggota kongres. Selama berjalannya masa-masa pemilihan presiden, ada masa kampanye calon presiden, seakan mereka menjual dirinya dengan janji-janji masa depan yang mereka tawarkan jika terpilih. Juga sebelum diadakan pemilihan presiden diadakan debat antar calon kandidat. Perdebatan ini biasanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kesejeahteraan masyarakat dan isu-isu kontemporer tentang negara. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sistem pemilu yang dianut oleh Amerika Serikat sangat bertentangan dengan sistem bai‟at yang diterapkan Islam untuk menentukan seorang pemimpin. Yang mana terlalu banyak permasalahan dan perdebatan yang ditimbulkan oleh sistem presidensial yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Karena sistem pemilihannya tidak dilandasi unsur-unsur Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat memahami bahwa sistem pemilu yang dianut di Amerika Serikat sangatlah bertentangan dengan sistem bai‟at yang diterapkan Islam meskipun ada hal-hal yang sama dalam pelaksanaannya, hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bai‟at yang dilakukan umat Islam dalam pengankatan khalifah sangat bergantung dan berpacuan terhadap Al-Qur‟an dan As-Sunnah sehingga para ulama memiliki pedoman yang kuat dan menyerahkan diri kepada Allah untuk diberi petunjuk dalam pembai‟atan khalifah. Sedangkan sistem pemilu yang diterapkan di Amerika Serikat tidak dilandasi oleh nilai-nilai Al-Qur‟an dan As-Sunnah sehingga sering terjadi kekacauan dalam sistem itu sendiri
2. Bai‟at tidak membenarkan perdebatan antar calon pemimpin dengan tujuan menjaga keutuhan dan persatuan umat muslim. Sedangkan pemilu membenarkan kan menjadikannya sebuah agenda dari calon presiden, maka tidak dapat dipungkiri akan terbagi menjadi beberapa kubu pendukung calon presiden dan ini akan menjadi sebuah awal perpecahan umat.
3. Bai‟at juga tidak membenarkan aksi berkampanye bagi para calon khalifah yang Islam berpandangan bahwa kampanye adalah tidak lebih dari menjual diri sendiri dengan janji-janji yang dijanjikan apabila terpilih kelak. Sedangkan pemilu di Amerika Serikat mengadakan kampanye besar-besaran untuk para calon presiden terpilih dari partainya. Kampanye merekapun didisain dengan sedemikian menarik dan elegan untuk memikat minat masyarakat. Kampanye juga menghabiskan anggaran yang sangat besar dan tidak sedikit hal ini sangat bertentangan dengan Islam yang sangat menghindari sifat tabzir atau menyia-nyiakan sesuatu untuk hal yang kurang bermanfaat.
4. Adapun kesamaan pada keduanya adalah pertama, kedua sistem ini berawal dari suara rakyat yang disalurkan pada wakil-wakil mereka. Kedua, para wakil yang menentukan siapa calon yang pantas untuk menjadi khalifah atau presiden. Ketiga, pemilihan atau bai‟at berlangsung dengan landasan: kejujuran, terbuka dan adil.
4.2 SARAN
Islam adalah agama yang sempurna dengan dua pusaka abadi yang terus menjadi acuan dan rujukan bagi para penganutnya yakni Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Meski sistem Khilafah Islam sudah pudar, akan tetapi nilai-nilai pada sistem ini tetap hidup di sekitar kita. Dalam pengangkatan pemimpin baru alangkah baiknya kita bangsa Indonesia dapat mengadopsi lebih banyak dari sistem bai‟at yang berlaku ketika zaman khulafaur rasyidin.
Dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam seharusnya Indonesia dapat lebih banyak menerapkan sitem pemerintahan Islam dalam pemilu atau bahkan sistem pemerintahannya sendiri. Dengan berlandaskan Al-Qur‟an dan As-Sunnah pada suatu sistem, maka dapat dipastikan sistem tersebut tidak akan ada kerancuan di dalamnya, dengan catatan bagi petugas yang menjalankan sistem tersebut terus bergantung dan berserah diri ke pada Allah sebagai pencipta dan Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu.
Ilmu adalah solusi dan solusi itu harus benar maka ilmu itu harus benar. Ilmu harus dicari dari sumber kebenaran dan sumber kebenaran itu tidak mungkin salah, maka dapat dipastikan sumber kebenaran pasti benar. Sedangkan yang pasti benar itu adalah Allah. Allah menurunkan kebenaran melalui wahyu dalam bentuk Al-Qur‟an. Maka jika Al-Qur‟an itu adalah wahyu dan wahyu berasal dari Allah dan Allah adalah sumber kebenaran maka Al-Qur‟an adalah sumber kebenaran. Jika ilmu dicari dari sumber kebenaran dan sumber kebenaran itu adalah Al-Qur‟an, maka Al-Qur‟an adalah sumber ilmu.
Daftar Pustaka
An-Nabhani, T. (2002). Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: AL-IZZAH.
Cipto, D. B. (2007). Politik & Pemerintahan AMERIKA. Yogyakarta: Lingkaran Buku.
Ishiyama, J. T., & Breuning, M. (2013). ILMU POLITIK DALAM PARADIGMA ABAD KE-21. Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP.
Tahrir, H. (2006). Struktur Negara Khilafah. Jakarta: HTI-Press.
Komentar
Posting Komentar