Pancasila
BAB I
PENDAHULUAN
Bedasarkan penelusuran sejarah,
pancasila tidaklah lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan melalui
prpses yang panjang, dengan didasari dengan sejarah perjuangan bangsa dan
dengan melihat pengalaman bangsa-bangsa lain
di dunia. Pancasila diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, tetapi
tetap berakar pada gagasan besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri.
Proses sejarah Konseptulisasi
Pancasila meringkasi rangkaian perjalanan yang sangat panjang, setidaknya yang
dimualai sejak awal 1900-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk
mencari sintesis antar ideologi dan gerakan seiring dengan proses penemuan
Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama. Perumusan konseptualisasi Pancasila
dimulai pada persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.
Dalam proses perumusan dasar negara,
Soekarno memainkan peran yang sangat penting. Dia berhasil mensintesiskan
berbagai pandangan yangh telah muncul dan orang p;ertama yang
mengonseptualisasikan dasar negara itu kedalam pengertian “dasar faklsafah”
atau “pandanganm komprehensif dunia”secara sistematik dan koheren. [1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sedikit Tentang Sejarah Sila Pertama.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya ke seluruh dunia. Keesokan harinya,
tanggal 18 Agustus 1945 PPKI melaksanakan sidang.
Hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan 3 (tiga) hal:
Hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan 3 (tiga) hal:
1. Menetapkan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2. Memilih Presiden dan Wakil
Presiden, yaitu Ir Soekarno dan Moh Hatta.
3. Membentuk sebuah Komite Nasional,
untuk membantu Presiden.
Salah satu keputusan sidang PPKI
adalah mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang dalam Pembukaan Alinea IV mencantumkan sila-sila Pancasila sebagai dasar
negara. Perubahan penting dalam sidang ini yaitu perubahan rumusan
dasar negara yang telah disepakati
dalam Piagam Jakarta.yaitu tujuh kata setelah Ke-Tuhanan, yang semula berbunyi
“KeTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Sidang PPKI tersebut, Moh. Hatta
menyatakan, bahwa masyarakat Indonesia Timur mengusul an untuk menghilangkan
tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “…dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya …”. Usulan tersebut disampaikan sebagai masukan
sebelum sidang yang disampaikan oleh seorang opsir Jepang yang bertugas di
Indonesia Timur, yang bernama Nishijama. Dengan jiwa kebangsaan, para pendiri
negara menyepakati perubahan Piagam Jakarta. Dengan demikian, sila pertama
Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa Mengenai kisah pencoretan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta itu, M. Hatta menuturkan dalam Memoirnya sebagai berikut: “Pada
sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishijama, pembantu Admiral Maeda,
menanyakan dapatkah aku menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia
mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijama
sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku mempersilahkan mereka datang. Opsir
itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan
bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut
Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang
berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat
mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya
ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang
Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika
diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar republik
Indonesia. Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan
itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.
Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang
Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai
keberatan apa-apa dan tanggal 22 Juni 1945 ia ikut menandatanganinya. Opsir tadi mengatakan bahwa itu adalah
pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah
pendudukan Kaigun.
Mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi.
Mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi.
Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah
pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan
tiada kecualinya. Kalau sebagian daripada dasar itu hanya mengikat sebagian
rakyat Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan oleh golongan-golongan
minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu kalau diteruskan juga Pembukaan yang
mengandung diskriminasi itu, mereka golongan Protestan dan Katolik lebih suka
berdiri di luar Republik. Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18
Agustus 1945, sebelum Sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan
dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah
itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan
bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantikannya dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa
membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya
kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut
di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”
Rumusan sila-sila Pancasila yang
ditetapkan oleh PPKI dapat dilihat selengkapnya dalam naskah Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rumusan sila-sila Pancasila tersebut
adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.[2]
B.
Penimpangan Sila Pertama.
Di Indonesia, Pancasila adalah landasan
utama setiap kegiatan pemerintahan maupun landasan masyarakat dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari. Namun dalam kenyataannya, banyak
penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat. Berikut adalah contoh
penyimpangan sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Contoh penyimpangan :
• Gerakan
radikal kelompok yang mengatasnamakan agama
• Perusakan
tempat-tempat ibadah
• Perilaku
diskriminatif terhadap pemeluk agama yang berbeda
• Tidak
menghormati perbedaan beragama
• Munculnya
aliran-aliran sesat
• Fanatisme
yang bersifat anarki
• Perilaku
yang menyimpang dari ajaran agama
Penyebab terjadinya penyimpangan :
• Kurangnya
toleransi antar umat beragama
• Rendahnya
pemahaman masyarakat tentang kebebasan beragama
• Keadaaan
masyarakat Indonesia yang multikultural sehingga rawan konflik
• Kurangnya
penghayatan terhadap sila-sila pertama
• Munculnya
pemahaman yang beranekaragam dalam menafsirkan suatu ajaran
• Masuknya
budaya asing yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai agama
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari pembahasan diatas, maka penulis dapat
menyimoulkan bahawa pancasila haruslah dipatuhi juga harus dijunjung tinggi
sebagai ideologi negara. Adapun solusi dari permasalahan yang mengacu terhadap
sila pertama adalah:
• Menanamkan sikap saling
menghormati antara pemeluk agama yang berbeda.
• Membangun kerukunan
antar pemeluk agama baik yang seagama maupun bukan.
• Menanamkan toleransi
beragama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing.
• Tidak boleh
memaksakan suatu agama atau kepercayaan tertentu terhadap orang lain.
• Menghilangkan sikap
diskriminasi di dalam kehidupan bermasyarakat.
• Menghayati dan
menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila utamanya sila
“Ketuhanan yang Maha Esa”.
DAFTAR PUSTAKA.
Pimpinan
MPR dan tim kerja sosialisai MPR RI, Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2012.)
Hatta
Mohammad, 1979 : 458-560 Dalam Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Lentera Insani, 2012.
Komentar
Posting Komentar